AJI dan Elemen Pers Pontianak Kecam Penangkapan Dandhy
Aliansi Jurnalis Independen Kota Pontianak, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Kalimantan Barat, dan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa menggelar unjuk rasa, di Bundaran Digulis Pontianak, Sabtu (28/9/2019) sore.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS - Aliansi Jurnalis Independen Kota Pontianak, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Kalimantan Barat, dan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa menggelar unjuk rasa, di Bundaran Digulis Pontianak, Sabtu (28/9/2019) sore. Mereka mengecam penangkapan aktivis Dandhy Dwi Laksono, mengutuk kekerasan terhadap jurnalis, dan menolak 10 pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak Dian Lestari, menuturkan, aksi ini untuk menyampaikan pernyataan bersama guna menggugat aparat polisi dan pemerintah. Dandhy Dwi Laksono adalah cerminan masyarakat Indonesia yang menyampaikan pendapatnya dalam kerangka kemerdekaan berekspresi. Namun, tiba-tiba ditangkap dengan alasan pemeriksaan.
Dandhy ditangkap karena diduga melanggar Pasal 28 Ayat 2, juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 08 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dana tau Pasal 14 dan Pasal 15 No.01 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Dandhy ditangkap karena berbagai unggahannya di media sosial terkait Papua. AJI meminta Dandhy dibebaskan dari jerat pasal karet UU ITE.
“Kami menyayangkan tindakan seperti ini karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu dan pemanggilannya sebagai saksi atau tersangka. Setelah didampingi kuasa hukum, Dandhy pun dilepaskan, tetapi tetap dinyatakan sebagai tersangka,” ujarnya.
Apa yang dialami Dandhy, lanjut Dian, mencerminkan kemunduran kebebasan berekspresi di Indonesia. Padahal, rakyat Indonesia telah bersepakat bersama dalam era reformasi. Masyarakat diberikan ruang kemerdekaan berekspresi. Apalagi, ekspresi yang disampaikan itu dalam rangka kemanusiaan.
AJI juga mengutuk tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan kepolisian terhadap jurnalis yang meliput demonstrasi sejak 24 September. Setidaknya AJI mendata ada 10 jurnalis yang mengalami kekerasan oleh aparat saat meliput demonstrasi mahasiswa serentak di berbagai daerah.
“Jurnalis yang menjadi korban kekerasan terverifikasi di Jakarta ada empat jurnalis, di Makassar ada tiga jurnalis, dan tiga jurnalis di Jayapura, Papua. Empat jurnalis di Jakarta yang mengalami kekerasan dari aparat, yakni jurnalis Kompas.com, IDN Times, Katadata, dan Narasi.TV karena merekam kebrutalan aparat kepolisian dalam menangani mahasiswa pendemo,” ungkap Dian.
Kekerasan terhadap jurnalis terhadi juga di Makassar menimpa tiga jurnalis, yakni ANTARA, Inikata.com, dan Makassar Today saat mengambil gambar aksi kebrutalan aparat. Sebelumnya di Jayapura ada tiga jurnalis dihalangi polisi. Mereka dilarang meliput aksi mahasiswa di halaman Auditorium Universitas Cenderawasih.
“Kami meminta pihak agar tindakan kekerasan seperti ini tidak berlanjut. Pelaku kekerasan ditindak karena jurnalis bukanlah orang yang melakukan kriminal. Jurnalis menjalankan tugas mulia dan Undang-Undang Pers. Kami menginginkan jurnalis di lapangan tidak mengalami tindakan kekerasan dan intimidasi,” kata Dian.
AJI juga dalam kesempatan itu menolak 10 pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi membungkam kemerdekaan pers Indonesia. Sepuluh pasal itu, yakni Pasal 219 tentang Penghinaan terhadap Kepala Negara, Pasal 241 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah, Pasal 247 tentang Hasutan Melawan Penguasa.
Kemudian, Pasal 262 tentang Penyiaran Berita Bohong, Pasal 263 tentang Berita Tidak Pasti, Pasal 281 tentang Penghinaan terhadap Pengadilan, dan Pasal 305 tentang Penghinaan terhadap Agama. Selain itu, Pasal 354 tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, Pasal 440 tentang Pemcemaran Nama Baik, dan Pasal 446 tentang Pencemaran Orang Mati.
“Jika pasal-pasal itu berlaku dalam RKUHP maka kemerdekaan yang sudah didapatkan sejak 1999 akan mundur. Banyak sekali pasal yang akan dikenakan kepada jurnalis yang mengungkap fakta dan kebenaran kepada masyarakat. Maka, kami menolak pasal-pasal yang ada di RKUHP tersebut,” paparnya.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kalbar Yuni Ardi, menuturkan, kasus kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis baik di Jakarta maupun di daerah saat meliput unjuk rasa mahasiswa menolak RKUHP pada 24-25 September 2019 merupakan peringatan nyata bagi keberlangsungan kebebasan pers di Tanah Air. Selama satu pekan ini IJTI mencatat ada 10 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RKUHP.
Dari jumlah tersebut, enam kasus kekerasan terjadi di Jakarta dan selebihnya terjadi di daerah. Dari 10 korban kekerasan, empat di antaranya merupakan jurnalis televisi yakni, Febrian Ahmad, reporter Metro TV kendaraan liputannya dirusak massa.
Rian Saputra kameraman TVRI Sulawesi Tengah, kameranya dirampas dan gambar dihapus oleh oknum polisi saat meliput aksi demonstrasi mahasiswa di Jalan Raden Saleh yang tidak jauh dari Gedung DPRD Sulawesi Tengah. Vany Fitria dan Harfin Naqsyabandi, Reporter Narasi TV, juga mengalami kekerasan oleh oknum polisi saat meliput aksi unjuk rasa tolak RKUHP di Jakarta.
Sebagian besar pelaku kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi menolak RKUHP dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. Sedangkan satu kasus dilakukan oleh massa aksi. Banyak jurnalis yang mendapat kekerasan saat meliput aksi menolak RKUHP yang pelakunya didominasi oleh aparat kepolisian menunjukkan ada persoalan serius di tubuh Polri terutama terkait penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis. Mengingat Polri dan Dewan Pers telah memiliki nota pesepakatan terkait penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis.
Oleh karena itu IJTI mempertanyakan komitmen Polri dalam menjalankan nota kesepakatan menyangkut perlindungan jurnalis yang sudah dibuat dengan Dewan Pers. Mengingat dalam prakteknya masih banyak anggota Polri di level bawah yang tidak memahami tugas-tugas jurnalis yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang.
Dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers secara tegas disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
Pers berfungsi sebagai kontrol sosial dan penyampai aspirasi publik. Itulah mengapa pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers dan berekspresi maka demokrasi di Tanah Air tidak akan berjalan dengan baik. Padahal kebebasan pers dan demokrasi yang tengah tumbuh dan berkembang menjadi satu-satunya kebanggan bangsa ini.
IJTI mengecam keras sejumlah oknum aparat kepolisian yang melakukan kekerasan pada jurnalis yang tengah melakukan peliputan unjuk rasa menolak RKUHP. IJTI mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi.
IJTI juga meminta Kapolri mengevaluasi pelaksanaan not kesepakatan Polri dengan Dewan Pers terkait perlindungan jurnalis. IJTI mendesak adanya reformasi di Polri terutama yang menyangkut penanganan dan perlindungan jurnalis. Mendorong jurnalis yang menjadi korban untuk memproses kasus kekerasan secara hukum.
Selain itu, IJTI mengimbau seluruh jurnalis televisi terus menjaga kode etik jurnalistik dan profisionalitas dalam menjalankan tugasnya. Para jurnalis hendaknya selalu mengutamakan aspek keselamatan saat menjalankan tugasnya.