Equator Prize, Pengakuan Nilai Budaya Dayak Iban Sungai Utik
Masyarakat Dayak Iban rumah panjang Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, meraih penghargaan Equator Prize dari PBB. Mereka berhasil menjaga wilayah dari ancaman perambahan dan ekspansi industri.
PONTIANAK, KOMPAS — Masyarakat Dayak Iban rumah panjang Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, meraih penghargaan Equator Prize yang diselenggarakan Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Mereka dinilai berhasil menjaga wilayahnya dari ancaman perambahan dan ekspansi investasi ekstraktif.
Penghargaan itu diterima pada Selasa (24/9/2019) waktu New York. Sungai Utik terpilih mewakili Indonesia, bersaing dengan 847 nomine lain dari 127 negara. Penerima penghargaan itu diwakili pemimpin rumah betang atau rumah panjang Sungai Utik (Tuai Rumah) Bandi (88) atau kerap disapa Apai Janggut dan perwakilan dari perempuan adat Sungai Utik, Kristiana Banang (52).
Apai Janggut, Sabtu (28/9/2019), menuturkan, masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melindungi alam sekaligus melindungi manusia. Kunci keberhasilan dalam mempertahankan wilayah hutan adalah kebersamaan dan gotong royong. Kalangan tua dan muda memiliki keinginan sama.
Perempuan-perempuan adat Sungai Utik juga berperan dalam mewariskan nilai-nilai luhur menjaga alam kepada anak-anak sehingga alam tetap terjaga secara berkelanjutan.
Kristiana Banang menuturkan, penghargaan itu memberikan tantangan bagi masyarakat agar lebih bisa mempertahankan wilayah kelola. Perempuan adat juga ikut ambil bagian dalam menjaga hutan di Sungai Utik.
”Perempuan-perempuan adat Sungai Utik juga berperan dalam mewariskan nilai-nilai luhur menjaga alam kepada anak-anak sehingga alam tetap terjaga secara berkelanjutan. Anak-anak dibawa ke hutan untuk mengenali alam di sekitar,” kata Kristiana.
Tomo Mana (46), salah satu generasi muda rumah panjang Sungai Utik yang ikut menyaksikan pemberian penghargaan itu, menyebutkan, Sungai Utik telah mempertahankan hutannya dari ancaman-ancaman selama ini. Sejak 1980-an, banyak perusahaan ingin masuk ke wilayah kelola masyarakat Sungai Utik, tetapi masyarakat setempat tidak mau melepaskan daerah mereka.
Baca juga : Berabad-abad Bali Terapkan Pemuliaan Air
”Kami berterima kasih atas penghargaan ini. Ini menjadi tantangan baru bagi warga Sungai Utik agar tetap mempertahankan hutan adat. Banyak pihak ingin masuk ke wilayah kelola masyarakat. Namun, masyarakat tetap mempertahankan wilayahnya,” tutur Tomo Mana.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Anton Widjaya menilai penghargaan itu sebagai bukti pengakuan cara pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh rakyat yang jauh lebih baik daripada pengelolaan oleh negara. Sebab, konsep negara dalam pengelolaan SDA diserahkan ke sektor korporasi.
Sementara di sisi lain ada konsep pengelolaan rakyat yang sangat berkelanjutan. Konsep pengelolaan rakyat diakui banyak kalangan. Penghargaan ini bentuk pengakuan konsep pengelolaan oleh rakyat yang terbukti berkelanjutan.
Pengelolaan masyarakat adat hendaknya menjadi referensi pengelolaan SDA di daerah. Namun, hingga kini, pengelolaan oleh rakyat belum dijadikan kekuatan. Pengelolaan oleh rakyat yang terbukti lebih baik masih sebatas isu pinggiran.
”Sebetulnya, tidak perlu jauh-jauh mencari referensi pembangunan berkelanjutan. Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa atau ke mana-mana, sudah ada konsep masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia mempraktikkan kearifan-kearifan luhur,” papar Anton.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menuturkan, penghargaan tersebut diharapkan bisa memacu semangat untuk tetap mempertahankan budaya yang relevan untuk kebaikan dalam pembangunan. Apa yang diwariskan nenek moyang masih memberikan kebaikan untuk kehidupan manusia hingga sekarang dan masa yang akan datang.
Bagi Eddy, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak mencerabut masyarakat dari akar budayanya. Sepanjang pembangunan menghargai akar budaya lokal, akan jauh lebih baik, lestari, dan berkelanjutan.
Baca juga : Tanpa Libatkan Kearifan Lokal, Pembangunan Bisa Merusak
”Problem pembangunan yang selama ini terjadi, datang dengan investasi besar, lalu merasa paling benar. Investasi besar itu lalu mengikis masyarakat dari budayanya sehingga nilai-nilai luhur masyarakat dan lingkungan tidak lagi dihormati. Padahal, masyarakat adat sangat peduli dengan lingkungannya,” ucap Eddy.
Kalau mau menjunjung tinggi pembangunan berkelanjutan, perlu penghargaan terhadap masyarakat setempat dan nilai-nilai di masyarakat. Itulah yang bisa menjaga manusia dari ancaman kehancuran. Kalau nilai-nilai dan kearifan lokal tidak dijaga atau disingkirkan, cepat atau lambat, akan menimbulkan ”letupan” konflik.
Mengunjungi Sungai Utik
Pada Agustus 2018, harian Kompas mengunjungi masyarakat Dayak Iban di rumah panjang Sungai Utik. Saat itu, Kompas berkesempatan mengamati kehidupan mereka yang masih sarat dengan nilai-nilai luhur.
Senin (6/8/2018) sore, suasana Desa Sungai Utik hening. Sejumlah perempuan berusia 50-80 tahun menganyam rotan untuk berbagai kerajinan di bagian ruai, ruang di antara bagian teras dan bilik-bilik keluarga.
Anak-anak bermain riang di ruangan berukuran 214 meter x 6 meter itu bak hamparan lapangan. Sesekali mereka berlarian ke teras rumah panjang, mengejar anjing peliharaan yang biasa dibawa saat ke ladang dan berburu.
Kian sore, rumah panjang kian ramai karena penghuninya baru pulang dari ladang sambil membawa alat berkebun dan hasil bumi. Tak jauh dari rumah panjang, ada sungai jernih dan dingin. Di sana mereka mandi sepulang dari ladang. Anak-anak turut bermain di sungai. Ada yang memancing ikan atau bermain perahu.
Desa Sungai Utik berjarak 600 kilometer dari Pontianak. Rumah panjang atau rumah betang, rumah adat suku Dayak, membentang 214 meter di kampung itu. Sejumlah bagiannya terbuat dari batang kayu ulin kokoh.
Rumah panjang Sungai Utik dibangun tahun 1973 dengan tinggi 2 meter dari permukaan tanah. Bangunan itu terdiri atas beberapa bagian. Bagian paling depan disebut tanjok atau selasar, dengan lebar 6 meter dan panjang 214 meter.
Di sana terhampar padi hasil panen, dijemur di tikar. Setelah melintasi tanjok, teras selebar 2 meter. Di sana ada kursi kayu tempat santai sepulang dari ladang. Aneka kerajinan rotan tergantung di dinding.
Baca juga : Rawat Hutan Adat, Masyarakat Rantau Kermas Raih Kalpataru
Di bagian dalam rumah, terdapat ruangan berukuran 214 meter x 6 meter yang disebut ruai. Di sanalah ruang tamu dan tempat berkumpul warga atau tempat berbincang. Selain ruai, di dalam rumah panjang terdapat bilik-bilik. Di dalamnya ada tempat tidur, dapur, dan kamar mandi. Jumlahnya 46 bilik. Satu bilik dihuni satu hingga empat keluarga.
Malam tiba, warga di rumah panjang saling berkunjung, duduk melingkar di bilik sembari minum air aren fermentasi. Ada sajian ikan atau sayuran matang. Mereka berbincang banyak hal, seperti aktivitas di ladang.
Rumah panjang Sungai Utik dipimpin Tuai Rumah. ”Tuai Rumah memimpin mulai dari menentukan masa berladang hingga panen, hukum adat, dan berbagai pertemuan penting di rumah panjang. Tuai Rumah jabatan turun-temurun,” kata Apai Janggut.
Jika ada warga yang menebang satu pohon, yang bersangkutan harus menanam dua pohon dan ada denda. Uang denda masuk kas dusun dan digunakan saat ada kegiatan bersama.
Peranan kepemimpinan Tuai Rumah penting menjaga tradisi dan kelestarian hutan. Luas wilayah adat Sungai Utik 9.452,5 hektar. Dari luas itu, 6.780 hektar adalah hutan primer. ”Hutan primer tidak boleh diganggu gugat. Itu kami pelihara supaya tetap lestari,” ucap Apai Janggut.
Jika ada warga yang menebang satu pohon, yang bersangkutan harus menanam dua pohon dan ada denda. Uang denda masuk kas dusun dan digunakan saat ada kegiatan bersama.
”Kalau rotan untuk bahan baku kerajinan, warga menanam sendiri di hutan. Mereka mengambil rotan di kebun masing-masing. Tidak mengambil di hutan primer,” ujar Apai Janggut.
Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalbar Stefanus Masiun mengatakan, masyarakat Dayak Iban masih bertahan di rumah panjang karena secara historis kuat memelihara adat dan budaya. Rumah panjang simbol kehidupan yang solid.
”Rumah panjang jadi jantung kebudayaan. Contohnya, saat syukuran sehabis panen dilaksanakan di rumah panjang. Hal itu tak mungkin dilakukan di rumah tunggal karena orang yang diundang banyak,” katanya.
Menjaga persaudaraan
Kekompakan dan semangat persaudaraan terjaga. Suasana damai juga dijaga dan dipelihara. Itu diyakini warga sebagai penyebab banyak orang berumur panjang di rumah panjang.
Kekompakan itu, misalnya, tecermin saat mereka mendirikan rumah panjang yang memakan waktu lima tahun. Selain kekompakan, diperlukan juga kepemimpinan kuat dari seorang Tuai Rumah. Apalagi, banyak jenis upacara saat pembangunan.
Kekompakan dan semangat persaudaraan terjaga. Suasana damai juga dijaga dan dipelihara. Itu diyakini warga sebagai penyebab banyak orang berumur panjang di rumah panjang.
Masih kuatnya tradisi juga tecermin dalam pengambilan keputusan. Dalam pertemuan, keputusan baru akan diambil setelah semua penghuni setuju. Satu tak setuju, dicari solusi sampai semua setuju.
Meskipun tinggal di rumah panjang, mereka tidak menutup diri. Dalam kehidupan sosial, mereka terbuka dengan orang luar. Siapa pun yang datang ke rumah panjang akan disambut ramah dan penuh persahabatan selayaknya saudara sendiri.
Penghuni desa itu mewarisi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Orang Sungai Utik memiliki tata guna lahan atau zonasi pemanfaatan. Mereka menentukan lokasi berladang dan mencari ikan serta kawasan lindung dan konservasi. Hutan primer tidak akan digarap.
Masyarakat Sungai Utik pun sering menghadapi tantangan dari luar yang mencoba merebut wilayah kelola mereka. Tahun 1980-an, daerah Sungai Utik hampir digarap perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Namun, masyarakat berhasil menghalaunya.
Mereka tak menganggap uang sebagai segalanya, tetapi mengutamakan keutuhan hidup. Maka, keseimbangan alam sangat mereka jaga karena terkait dengan keutuhan hidup sosial budaya. Aspek adat lemah, hutan hancur dan sebaliknya.
Di Kapuas Hulu ada beberapa subsuku Dayak yang tinggal di rumah panjang selain Dayak Iban, antara lain Dayak Taman dan Kantuk. Namun, rumah panjang lestari ada di Kapuas Hulu.