Orangtua Eksploitasi Anak di Lhokseumawe Terancam 10 Tahun Penjara
MI (39) dan UG (34), suami istri yang mengekploitasi dan melakukan kekerasan fisik terhadap MS (9), anak mereka sendiri, kini dijerat pasal berlapis. Keduanya terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – MI (39) dan UG (34), suami istri yang mengekploitasi dan melakukan kekerasan fisik terhadap MS (9), anak mereka sendiri, kini dijerat pasal berlapis. Keduanya terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
MI dan UG warga Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, memaksa MS untuk mencari uang dengan cara mengemis ke pengunjung warung kopi di kota itu. Jika pulang ke rumah tanpa membawa uang, MS dipukuli dan rantai.
Polisi telah menangkap kedua pelaku dan menerapkan sebagai tersangka. Kini mereka ditahan di markas Polisi Resor Lhokseumawe.
Kepala Polisi Resor Lhokseumawe Ajun Komisaris Besar Polisi Ari Lasta Irawan, Minggu (29/9/2019) menuturkan kedua pelaku dijerat pasal berlapis, yakni UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dikenai pasal berlapis karena tersangka mengeksploitasi anak dan melakukan kekersan fisik terhadap anak. “Mereka terancam hukuman 10 tahun penjara,” kata Ari.
Saat ini penyidik sedang merampung berkas untuk dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.
Kasus kekerasan yang dialami MS terbongkar setelah warga melaporkan kepada anggota TNI Bintara Pembina Desa atau Babinsa pada Rabu (18/9/2019). Kasus itu kemudian dilaporkan ke polisi. Padahal sebelumnya Dinas Sosial Lhokseumawe pernah mendampingi pemulihan sosial keluarga tersebut, namun tidak sampai tuntas.
Kepala Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani mengatakan kasus yang menimpa MS adalah potret pilu kondisi anak di Aceh. Nevi berharap pelaku dihukum berat.
Nevi mengatakan, kasus MS menunjukkan belum semua pihak peduli terhadap anak. Nevi berharap aparatur desa seharusnya menjadi pihak pertama yang mencegah dan melindungi anak dari kekerasan.
Dualisme regulasi
Nevi menuturkan di Aceh terjadi dualisme regulasi dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak terutama dalam kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan pencabulan. Regulasi tersebut adalah KUHP dan qanun/perda hukum jinayah.
Dalam KUHP pelaku kejahatan terhadap anak dihukum penjara sedangkan dalam Qanun Hukum Jinayah sanksinya cambuk. Dalam beberapa kasus pencabulan terhadap anak di Aceh pelakunya dihukum cambuk. Menurut Nevi, hukuman cambuk tidak setimpal dengan perbuatan pelaku.
“Dalam setiap kasus kekerasan terhadap anak kami mendorong agar polisi dan kejaksaan menggunakan hukum pidana, bukan qanun,” kata Nevi.
Selain kasus eksploitasi tidak sedikit anak mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan. Catatan DP3A Aceh sepanjang 2015 sampai 2018 total kasus kekerasan terhadap anak di Aceh mencapai 3.515 kasus. Bentuk kekerasan yang dialami anak berupa pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan fisik, kekerasan psikis, eksploitasi, dan sebagainya.
Dalam setiap kasus kekerasan terhadap anak kami mendorong agar polisi dan kejaksaan menggunakan hukum pidana, bukan qanun, kata Nevi
Nevi mengatakan perlu komitmen kuat kepala daerah kabupaten/kota untuk menjalankan program perlindungan dan pemenuhan hak anak. Masalahnya, kata Nevi, belum semua kepala daerah memiliki komitmen itu. Alokasi anggaran minim dan lembaga pemerintah belum sinergi bekerja melindungi anak.
Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) Firdaus Nyak Idin membentukan kabupaten/kota layak anak (KLA) sangat mendesak dilakukan. Saat ini baru empat kabupaten/kota yang menerapkan layak anak, sementara di Aceh terdapat 23 kabupaten/kota.
Firdaus mengatakan KLA akan menggerak semua pihak untuk terlibat dalam melindungi dan memenuhi hak anak. Dalam KLA terdapat lima klaster hak anak yang harus dipenuhi, yakni ; hak sipil dan kebebasan; keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan sosial, pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus.
“Pembentukan KLA akan melibatkan semua instansi pemerintah sesuai dengan masalah di lima klaster,” kata Firdaus.