Sekitar 1.000 mahasiswa menagih sikap anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan terkait tuntutan-tuntutan mereka yang disampaikan dalam demonstrasi minggu lalu, salah satunya terkait penolakan Undang-Undang KPK.
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS - Sekitar 1.000 mahasiswa menagih sikap anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan terkait tuntutan-tuntutan mereka yang disampaikan dalam demonstrasi minggu lalu. Tuntutan tersebut, mulai dari penolakan Undang-Undang KPK hasil revisi, pembatalan pembahasan revisi KUHP, penanganan kebakaran lahan dan hutan, dan pengusutan tindakan represif aparat dalam menangani demonstrasi dalam dua minggu terakhir.
Mahasiswa yang berunjuk rasa pada Selasa (1/10/2019) merupakan gabungan dari berbagai elemen yang terkait dengan Muhammadiyah, yakni Aliansi Angkatan Muda Muhammadiyah, Aliansi Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, serta Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah, Makassar. Unjuk rasa digelar di depan Gedung DPRD Sulsel di Jalan Urip Sumoharjo.
Massa aksi bergerak dari depan kampus Universitas Muhammadiyah Makassar dengan berkonvoi sepeda motor. Sebagian mahasiswa juga menumpang dua truk gandeng yang memang menuju rute sama, yakni sekitar Gedung DPRD Sulsel. Masa dituntun satu mobil komando. Aksi berlangsung dalam terik matahari. Mereka tiba di Gedung DPRD Sulsel pada pukul 14.25 Wita.
Dari mobil komando di depan gerbang kantor DPRD Sulsel, Jenderal Lapangan Aksi yang juga Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Emin Soemitro Praja menyampaikan, aksi damai tersebut dilakukan untuk menagih sikap DPRD Sulsel terkait 30 tuntutan mahasiswa pada aksi Kamis (26/9) lalu. "Kami mau dengar seberapa jauh anggota DPRD Sulsel menindaklanjuti tuntutan kita kepada DPR dan pemerintah pusat," katanya.
Tuntutan tersebut, antara lain desakan agar Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU KK yang baru saja direvisi, penghentian pembahasan RKUHP yang menyudutkan rakyat, penyelesaian masalah kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan serta Sumatera, dan tak menaikkan premi BPJS Kesehatan. Mahasiswa juga mendesak agar aparat tak represif dalam menangani demonstrasi, yang mengakibatkan adanya korban meninggal, yakni dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara.
"Kami melakukan aksi atas dorongan hati nurani, yakni bahwa bangsa ini tidak dalam keadaan baik-baik saja," kata Emin.
Setelah menyampaikan orasi, ia menyemangati massa aksi. Saat ia meneriakkan "Siapa kita?", peserta aksi menjawab, "Kita satu". "Untuk apa kita di sini?" dijawab, "Lawan, lawan, dan lawan". Dua kalimat itu diungkapkan masing-masing tiga kali.
Setelah itu, orator lain silih berganti menyampaikan aspirasi, yang intinya sama dengan tuntutan-tuntutan utama. Salah satu orator sempat mengancam untuk menduduki kantor DPRD jika tak ada anggota dewan yang menemui demonstran.
Pada pukul 16.10 Wita, massa diterima anggota DPRD Sulsel Arum Spink dan Kepala Polda Sulsel Inspektur Jenderal Guntur Laupe. Arum menyatakan, tuntutan-tuntutan mahasiswa telah disampaikan ke DPR dan Presiden melalui faksimili. "Kami tak punya pilihan lain selain meneruskan aspirasi para mahasiswa," katanya.
Guntur mengapresiasi aksi para mahasiswa yang berjalan damai. Terkait dengan aspirasi kepada kepolisian, ia menyatakan semua tindakan anggota kepolisian yang tak sesuai aturan diproses. "Tentunya akan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Polisi tidak kebal hukum," katanya.
Guntur memastikan, hingga saat ini sudah 10 anggota Polri se-Indonesia diproses secara hukum terkait pelanggaran dalam menangani aksi massa dalam dua minggu terakhir.
Setelah mendengarkan pernyataan Arum dan Guntur, perwakilan mahasiswa menyerahkan lembar tuntutan mereka. Tuntutan tersebut diterima Arum dan memastikan akan meneruskannya ke DPR dan Presiden. Massa aksi lalu bubar dengan tertib mulai pukul 16.35 Wita.