Goresan Seni yang Menghidupkan Dusun Paingan
Kemampuan berkesenian tidak selalu menunggu bakat anugerah Tuhan. Di Dusun Paingan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kemampuan ini lahir dari kegigihan semangat sejumlah warga untuk terus belajar dan mengasah keahlian.
Kemampuan berkesenian tidak selalu menunggu bakat dari anugerah Tuhan. Di Dusun Paingan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kemampuan ini lahir dari kegigihan semangat sejumlah warga untuk terus belajar dan mengasah keahlian. Dari rangkaian proses panjang itulah, warga pun bisa menggantungkan seni sebagai mata pencaharian yang menopang kehidupan.
Dusun kecil di Desa Kleteran, Kecamatan Grabag, itu berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Magelang. Penduduknya sekitar 700 jiwa, yang terdiri atas lebih kurang 200 keluarga. Dari jumlah itu, sekitar 15 persen keluarga menggantungkan hidup pada kesenian.
Seni yang dimaksud adalah seni menggambar dengan medium bermacam-macam. Sebagian warga menekuni seni lukis di atas kanvas. Sebagian lainnya menggunakan teknik air brush di atas kerajinan kuningan. Air brush adalah teknik seni rupa yang menggunakan tekanan udara untuk menyemprotkan cat atau pewarna pada bidang kerja. Ada pula warga yang mengembangkan keterampilannya dengan menggambar di badan manusia atau seni tato.
Tahun ini, satu lukisan karya seorang pelukis juga ada yang dikirim hingga ke Jepang.
Sigit Widhiantoro, Ketua Komunitas Sasana Prabangkara, komunitas seniman di dusun itu, mengatakan, ada 12 pelukis yang tergabung dalam Komunitas Sasana Prabangkara. Di luar itu, masih ada puluhan seniman lain, sebagian besar menekuni seni membuat relief dan kaligrafi di media kuningan.
Sigit mengatakan, ketekunan di bidang seni tersebut nyata membuahkan hasil. Dalam setahun, produktivitas 12 pelukis di Dusun Paingan itu bisa mencapai setidaknya 1.000 lukisan. Lukisan-lukisan itu dikirim untuk memenuhi permintaan ke seluruh penjuru Nusantara. ”Tahun ini, satu lukisan karya seorang pelukis juga ada yang dikirim hingga ke Jepang,” ujarnya.
Harga lukisan pun bervariasi. Lukisan berukuran 40 sentimeter x 60 sentimeter, misalnya, dijual dengan harga mulai Rp 175.000 per lembar. Sementara harga tertinggi lukisan bisa mencapai puluhan juta rupiah per lembar.
Sigit mengatakan, pemasukan dari seni inilah yang mendukung kesejahteraan warga Dusun Paingan. ”Lukisan saya pernah dihargai hingga puluhan juta rupiah. Dari uang itulah saya akhirnya bisa membeli tanah seluas 1.000 meter persegi di desa,” ujarnya.
Untuk keseharian, Sigit mengatakan, dirinya dan para pelukis biasa memenuhi kebutuhan lukisan untuk hiasan interior rumah. Terkait hal ini, Komunitas Sasana Prabangkara sudah memiliki jaringan pemasaran dengan melibatkan 25 perusahaan selaku agen. Mereka membantu memasarkan lukisan ke sejumlah lembaga, instansi, dan kolektor.
Pada saat-saat tertentu, kami pun biasa lembur, kurang tidur demi menyelesaikan enam lukisan dalam satu hari.
Mengikuti permintaan dari agen yang menjadi pelanggannya tersebut, pelukis bisa membuat dua hingga tiga lembar lukisan per hari. ”Pada saat-saat tertentu, kami pun biasa lembur, kurang tidur demi menyelesaikan enam lukisan dalam satu hari,” ujarnya.
Para seniman juga tidak bekerja sendirian. Mereka terlatih bekerja sama satu sama lain. Oleh karena itu, Sigit mengatakan, jika dirinya kebetulan sedang ”banjir” order, dia pun meminta bantuan dari pelukis lain dengan pola pembagian keuntungan.
Di luar memenuhi permintaan dari pelanggan dan agen, sebagian lukisan juga disimpan untuk koleksi masterpiece. Koleksi itu nantinya bisa dijual langsung kepada kolektor yang berminat. Dari aktivitas penjualan tersebut, menurut dia, pelukis bisa mendapatkan penghasilan Rp 3 juta-Rp 5 juta per bulan.
Namun, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup, aktivitas melukis sebagian seniman juga dilakukan demi eksistensi dan tuntutan pendidikan. M Alwi (28), salah seorang pelukis, menjadi satu-satunya seniman yang menekuni seni lukis secara akademis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Aktivitas melukisnya sebagian adalah karena tuntutan tugas kuliah dan ”kewajiban” untuk terlibat dua kali pameran dalam setahun. Namun, dari situ, dia sekaligus mampu memenuhi kebutuhan hidup selama tinggal di Yogyakarta.
”Untuk uang kos, uang jajan, makan-minum, dan lain-lain, saya bisa mencukupinya dari penjualan lukisan dan tidak perlu menunggu kiriman uang dari orangtua,” ujarnya.
Terlibat dalam dua kali pameran dilakukannya sebagai ”syarat wajib” agar bisa dikenal oleh kalangan seniman dan pencinta seni di Yogyakarta. Dalam dua kali pameran tersebut, dia mampu menjual tiga hingga lima lukisan per tahun. Satu lukisan biasanya laku Rp 5 juta-Rp 7 juta.
Otodidak
Dari puluhan orang yang terlibat dalam seni lukis di Dusun Paingan, selain Alwi, tidak ada lagi yang berlatar belakang pendidikan seni. Kebanyakan seniman lain hanya berpendidikan terakhir SMA atau SMK.
Narwanto (49), penasihat Komunitas Sasana Prabangkara, memastikan bahwa capaian mereka saat ini memang sama sekali tidak berkorelasi dengan pendidikan yang pernah mereka tempuh. ”Semua seniman di sini (Dusun Paingan) belajar seni secara otodidak,” ujarnya.
Narwanto, yang kerap disebut oleh warga sebagai ”perintis” hidup berkesenian di Dusun Paingan, adalah lulusan SMK jurusan teknik mesin. Pembelajaran otodidak ini, antara lain, juga dilakukan oleh dirinya sendiri.
Hanya karena sering melihat ayahnya menggambar dokar untuk dirinya, Narwanto pun ikut tertarik menggambar. Hobi melukis ini intens dilakukannya setelah lulus SMK. Namun, karena lukisannya tidak laku, dia banting setir menekuni usaha jasa pembuatan tato.
Tiga tahun menekuni bidang itu, Narwanto merasa tidak puas. Dia merasa bidang usaha itu tidak cocok untuk dirinya. Tahun 1994, Narwanto kembali menekuni seni lukis. Ketika itu, dia berkomitmen untuk babat alas, merintis jalan untuk memperkenalkan sekaligus membuka jaringan pemasaran bagi karyanya.
Ketika itu, saya memanggul karung lukisan dengan berjalan kaki.
Karena kebingungan untuk menjual hasil karya, ketika itu dia nekat membawa satu karung berisi puluhan lukisan berbagai ukuran. Tujuannya adalah menjualnya di tempat wisata di daerah Kopeng, Salatiga. ”Ketika itu, saya memanggul karung lukisan dengan berjalan kaki,” ujarnya.
Jarak antara Dusun Paingan dan Kopeng sejauh lebih dari 20 kilometer pun dilahapnya. Dari usaha pertamanya tersebut, tak satu pun lukisan laku. Namun, hal itu tak menyurutkan tekadnya.
Tidak berhenti di Kopeng, dibantu oleh salah seorang kerabatnya, Narwanto mencoba menjajaki tempat lain, yaitu kawasan wisata Candi Borobudur. Setelah dua kali mencoba memasarkan di tempat wisata itu, barulah lukisannya terjual.
Di tengah permintaan pasar yang tidak menentu, Narwanto tetap intens melukis. Ketika itu, dia tidak terpikir untuk melakukan pekerjaan lain karena panggilan hatinya hanya ingin melukis.
Sekitar lima tahun kemudian, Narwanto mulai mendapatkan pelanggan untuk karya lukisnya. Kesibukannya melukis dan menjual lukisan pada akhirnya menarik minat warga lain untuk belajar melukis.
Seiring waktu, kian banyak warga yang berguru kepada Narwanto. Di sela-sela kesibukan mengajari warga lain, Narwanto juga mengembangkan diri dengan mempelajari keterampilan mengukir lukisan di atas lempeng kuningan dari seorang rekannya. Setelah mahir, keahlian itu juga ditularkannya kepada warga lain.
Namun, menurut dia, tidak ada satu pun pemicu yang lebih kuat kecuali memang minat warga sendiri untuk tekun berkesenian. Minat yang terus diasah itulah yang kemudian menjadikan kesenian memiliki daya untuk memberi kehidupan dan kesejahteraan.