Sebanyak 50 anak muda mendatangi sejumlah kabupaten/kota di Indonesia dalam rangka tur bertajuk "Jelajah Toleransi".
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Sebanyak 50 anak muda mendatangi sejumlah kabupaten/kota di Indonesia dalam rangka tur bertajuk "Jelajah Toleransi". Mereka belajar mengenai cara warga setempat menjaga semangat toleransi dan keberagaman, termasuk merajut damai bagi daerah yang pernah dilanda konflik sosial berkepanjangan.
Kabupaten/kota dimaksud adalah Wonosobo, Malang, Poso, Ambon, dan Pangandaran. Jennie Veronica, salah satu koordinator "Jelajah Toleransi", di Ambon, Rabu (2/10/2019), mengatakan, kegiatan tersebut baru pertama kali dilakukan di Indonesia.
"Jelajah Toleransi", katanya, berangkat dari keprihatinan anak muda mengenai kondisi bangsa yang belakangan ramai dengan praktik intoleransi serta terdegradasinya nilai keberagaman yang menjadi semboyan negara kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Lebih miris lagi, banyak anak muda yang menjadi pelakunya.
Dengan begitu, cerita tentang indahnya toleransi dan keberagaman diketahui oleh orang lain dan bisa menjadi contoh.
Lewat kegiatan itu, mereka hendak menggali cerita inspiratif tentang toleransi dan keberagaman untuk disuguhkan kepada publik lewat media sosial. Setiap peserta akan memberikan testimoni tentang pengalaman dirinya serta cerita yang didapatkan dari masyarakat setempat dalam bentuk narasi, foto, dan video.
"Anak muda akan menjadi agen untuk menyampaikan cerita ini lewat media sosial. Dengan begitu, cerita tentang indahnya toleransi dan keberagaman diketahui oleh orang lain dan bisa menjadi contoh," katanya. Belakangan ini, media sosial sering memuat konten yang provokatif dan berpotensi memecah belah persatuan Indonesia.
Syamsul Tarigan, Senior Technical Advisor cum Programme Manager on Peace and Justice United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia mengatakan, banyak anak muda telah terpapar paham yang menekankan eksklusivitas. Paham tersebut akan membuat mereka cenderung tidak menghargai perbedaan.
Menurut dia, upaya menanamkan paham itu sudah dilakukan sejak era 1980-an. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, mereka yang terpapar paham itu bermunculan di banyak institusi pemerintahan. Mereka menguasai banyak posisi penting.
Pemilihan Ambon
Jennie Veronica menambahkan, alasan pemilihan Ambon adalah kota tersebut pernah dilanda konflik sosial cukup lama. Ambon dan Maluku pada umumunya dilanda konflik sosial selama empat tahun sejak 1999. Di Ambon, peserta menggali cerita tentang bagaimana warga yang terpuruk akibat konflik itu bangkit merajut perdamaian.
Mereka mengunjungi sejumlah kompleks permukiman, seperti Waringin dan Kudamati. Selain itu, mereka juga berdiskusi dengan menghadirkan pelaku konflik yang kemudian menjadi tokoh perdamaian dan orang-orang yang dari awal bekerja untuk perdamaian.
Rudi Fofid, sastrawan yang juga tokoh perdamaian, mengingatkan akan dampak berita bohong atau hoaks. Hoaks menyulut konflik di Maluku. Kala itu, berita bohong disebarkan lewat telepon rumah. Kurangnya inisiatif untuk verifikasi menyebabkan warga mudah terbakar amarah dan melakukan penyerangan.
Abidin Wakano, tokoh perdamaian lainya, mengajak anak muda agar saling mencintai dan menyayangi sebagai sesama manusia. Anak muda diharapkan menjadi agen perdamaian. "Tantangan dalam merajut perdamaian sangat besar. Akan tetapi, yakinlah, setiap orang yang berjuang untuk kebaikan, semesta akan mendukungnya," katanya.