Tiga Lansia Terlibat Peredaran Uang Palsu di Temanggung
Polisi menangkap tiga warga lansia, yaitu DH (62), SB (78), dan SM (66) beserta istrinya SN (55) karena terlibat dalam pembuatan dan peredaran uang palsu di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS - Polisi menangkap tiga warga lanjut usia, yaitu DH (62), SB (78), dan SM (66) beserta istrinya SN (55) karena terlibat dalam pembuatan dan peredaran uang palsu di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dalam menjalankan aktivitas ini, mereka dibantu oleh AR (49). DH, pencetus ide pembuatan uang palsu mengaku hal itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Kepala Polres Temanggung Ajun Komisaris Besar Muhammad Ali, Kamis (3/10/2019) mengatakan, lima tersangka tersebut mengaku sudah menjalankan aktivitas dan mengedarkan uang palsu sejak tiga bulan lalu. Kronologisnya, pada 16 Agustus 2019, SN berbelanja sayur dan buah di Pasar Medono, Pringsurat dengan sebagian uang palsu yang diproduksi DH.
"Uang yang digunakan SN masih dalam tahap uji coba. Tapi temuan ini diketahui unit Reskrim Polsek Pringsurat," ujar Ali. Dari temuan itu, kemudian polisi menangkap SM dan SN. Setelah itu dilakukan pengembangan sehingga polisi bisa menangkap DH, SB, dan AR.
Uang yang digunakan SN masih dalam tahap uji coba. Tapi temuan ini diketahui unit Reskrim Polsek Pringsurat.
Uang palsu yang sudah sempat dibelanjakan tersebut mencapai sekitar Rp 150.000. Bersama dengan penangkapan lima tersangka tersebut, polisi juga telah mengamankan uang palsu bernilai Rp 51.280.000 yang didapatkan dari dua kali penyitaan. Pada penyitaan pertama di rumah pasangan suami istri SM dan SN, polisi membawa 265 lembar uang bernilai pecahan Rp 50.000, kemudian 69 lembar uang bernilai pecahan Rp 20.000, dan satu lembar uang plano bernilai pecahan Rp 100.000.
Adapun, dalam penyitaan kedua, polisi mengamankan 263 lembar uang palsu bernilai pecahan Rp 100.000 dan 197 lembar uang palsu bernilai pecahan Rp 50.000. Uang tersebut didapatkan dari sepeda motor milik DH.
Lima tersangka tersebut dinyatakan melanggar pasal 36 juncto pasal 26 Undang-undang RI Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Dengan pelanggaran itu, kelima tersangka terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Aksi para orang lanjut usia ini bermula dari inisiatif DH untuk membuat dan menjual uang palsu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. DH menawarkan rencana pembuatan uang palsu tersebut kepada SB, yang kemudian mengenalkannya pada residivis kasus uang palsu, yakni SM.
Metode pembuatan uang palsu ini dilakukannya berdasarkan ide dan rekayasa sendiri, tanpa diajari dan tanpa melihat referensi mana pun.
Ketika telah terjadi kesepakatan, DH pun mulai memproduksi uang palsu bersama dengan rekannya AR. Produksi uang palsu dilakukan DH di rumah kontrakannya di Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang.
Adapun, teknik pembuatan yang dilakukan dengan melakukan proses pemindaian (scanning) pada uang asli, kemudian dia pun mencetak uang dengan memakai hasil pemindaian tersebut. Metode pembuatan uang palsu ini dilakukannya berdasarkan ide dan rekayasa sendiri, tanpa diajari dan tanpa melihat referensi mana pun.
Uang palsu tersebut dicetak di atas kertas doorslag yang dilapisi kertas HVS. Adapun, benang pengaman yang ada pada uang dibuatnya dengan memanfaatkan kertas bungkus biscuit yang kemudian dipotongnya tipis-tipis, dan dilekatkan dengan isolasi.
Uang palsu yang dibuat DH adalah uang palsu setengah jadi. Di tangan SM, uang palsu setengah jadi tersebut kemudian diproses, menjalani proses finishing. Upaya finishing tersebut dilakukan dengan cara membubuhkan lem, kemudian mengamplasnya, sehingga permukaan uang kertas menjadi kasar. Permukaan uang juga sengaja disemprot dengan jenis cat tertentu sehingga uang kertas tersebut terasa tebal saat dipegang.
Kendati demikian, uang tersebut memiliki ciri-ciri berbeda yang membuatnya bisa dikenali sebagai uang palsu. Ciri tersebut adalah dari bahan kertas yang lebih tipis daripada uang asli. Jika terkena air, cetakannya juga akan langsung pudar.
Berdasar rencana semula dan kesepakatan bersama SM, DH berencana mencetak uang palsu hingga mencapai nilai nominal Rp 50 juta.
“Sesuai kesepakatan, untuk setiap uang yang saya buat dan saya serahkan, saya menerima pembayaran senilai sepertiga dari nilai uang palsu tersebut,” ujar DH. Jika membuat uang palsu sebanyak Rp 1,5 juta misalnya, maka DH akan mendapat bayaran Rp 500.000 dari SM.
Namun, DH belum sempat menerima pembayaran apa-apa. Dia dan empat tersangka lainnya tertangkap setelah SN menggunakan uang palsu tersebut untuk berbelanja.