Perkuat Jerat Hukum bagi Korporasi Penyebab Kebakaran Terluas di Sumatera
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mulai menyelidiki korporasi hutan tanaman industri akasia yang areal terbakarnya paling luas di Sumatera, di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (4/10/2019).
Oleh
IRMA TAMBUNAN/RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
MUSI BANYUASIN, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mulai menyelidiki korporasi hutan tanaman industri akasia yang areal terbakarnya paling luas di Sumatera, di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (4/10/2019). Aktivis lingkungan hidup mendesak agar penegakan hukum bagi korporasi tidak lagi setengah hati.
Kepala Satuan Tugas Kebakaran Hutan dan Lahan di Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sugeng Priyanto mengatakan, penyelidikan dimulai setelah pihaknya mendapat informasi areal konsesi itu terbakar hingga 3.244 hektar. Luas itu setara dengan sekitar 70 persen dari total konsesi perusahaan, seluas 4.800 hektar.
”Kebakaran ini merupakan yang terluas pada areal korporasi di Sumatera,” ujarnya.
Kebakaran di areal perusahaan berinisial PT TJP itu berlangsung sejak Agustus 2019 dan masih membara hingga hari ini. Kebakaran itu bahkan menyumbangkan asap terbesar yang menyebar hingga wilayah Jambi dan Riau.
Menurut Sugeng, kebakaran itu kembali mengulang peristiwa tahun 2015. Oleh karena itu, penegakan hukumnya bakal diterapkan berlapis dan menggunakan banyak pintu (multidoors). ”Selain lewat perdata, pidana, tahun ini kami juga mencoba tuntutan perampasan keuntungan,” lanjutnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel Hairul Sobri mengatakan, KLHK sudah menyegel sejumlah perusahaan tahun 2015. Ada puluhan lahan perusahaan yang disegel kala itu. Namun, tidak ada satu pun perusahaan yang dicabut izin usahanya. Bahkan, ada satu perusahaan yang sudah diinstruksikan Presiden Joko Widodo untuk dicabut izinnya, tetapi masih beroperasi sampai sekarang.
”Hal ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia dan tidak memberikan efek jera bagi korporasi,” katanya.
Sebaliknya, pemerintah terus menerbitkan izin terutama di kawasan gambut dalam. Hairul menyebutkan, dari 1,2 juta hektar lahan gambut di Sumsel, sekitar 700.000 hektar sudah dibebani izin. Instruksi untuk moratorium pun dilanggar.
”Lahan gambut tetap saja dimanfaatkan untuk tanaman monokultur yang bukan tanaman khas gambut,” ucapnya.
Terkait delapan lokasi korporasi yang disegel karena lahan konsesinya terbakar, Hairul khawatir proses hukumnya akan menguap bersama dengan hilangnya asap. Proses hukumnya, ujar Hairul, harus benar-benar tuntas.
”Jangan hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada pemerintah kabupaten/kota, KLHK memiliki kewenangan untuk mencabut izin,” katanya.
Perlu ada tindakan tegas pemerintah, termasuk pencabutan izin bagi perusahaan yang terbukti lalai atau sengaja membuka lahan dengan cara membakar.
Pencabutan izin merupakan sanksi yang pantas diberikan karena sejak awal perusahaan harus memiliki komitmen untuk membuka lahan dengan cara tanpa bakar.
”Mereka memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membuka lahan tanpa bakar. Kalau tidak memiliki kemampuan, ya, berarti cabut saja izinnya,” kata Hairul.
Proses hukum juga sebaiknya tidak hanya diberikan kepada perusahaan, tetapi kepada oknum dinas lingkungan hidup yang masih mengeluarkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan pada perusahaan yang membuka lahan di lahan gambut.
”Banyak izin yang dikeluarkan pada tahun 2016 dan tahun 2017 atau tepat pada saat moratorium diberlakukan,” katanya.
Mereka memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membuka lahan tanpa bakar. Kalau tidak memiliki kemampuan, ya, berarti cabut saja izinnya.
Hairul menjelaskan, modus yang dilakukan perusahaan untuk mendapatkan izin adalah dengan membagi kawasan konsesi untuk dua badan hukum sehingga penerbitan izin cukup melalui pemerintah tingkat kabupaten/kota.
Modus lain adalah membuat peraturan daerah untuk memudahkan perusahaan membakar lahan. Pada Januari 2019, Hairul menghadiri pertemuan yang melibatkan sejumlah perusahaan perkebunan.
”Langkah ini karena dari segi dana lebih murah dan hasil tanaman akan lebih baik,” ucapnya.
Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Tjahjanto mengatakan, dari delapan perusahaan yang disegel, hanya dua yang lahan konsesinya berada di dalam kawasan hutan. Keduanya ada di Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, yakni PT TCP yang merupakan perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan PT HBL yang merupakan perusahaan yang mengelola kawasan hutan bermitra dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan, Mangsang, dan Mendis.
Pandji menegaskan, pada perusahaan yang terbakar, akan dievaluasi kerja sama dan izinnya. ”Kalau memang terbukti ada kelalaian dan kesengajaan, akan diberi sanksi sampai pada pencabutan izin,” katanya.
Untuk PT TCP, misalnya, ada laporan api berasal dari luar kawasan konsesinya dan masuk ke kawasan konsesi. ”Kami akan kaji apakah benar laporan tersebut dan apakah perusahaan tersebut sudah menyiapkan alat pemadam memadai,” ujar Pandji.
Adapun untuk PT HBL, ada indikasi penanam sawit di lahan yang telah terbakar dan minimnya alat pemadam. ”Kalau dugaan itu terbukti, tentu kerja sama kemitraan tidak akan dilanjutkan lagi,” lanjutnya.
Namun, hingga saat ini, kata Pandji, pihaknya masih fokus pada pemadaman dan pembasahan lahan.
Sebelumnya Gubernur Sumsel Herman Deru menegaskan akan mencabut izin perusahaan yang terbukti secara hukum membakar lahan.
”Kita jangan gegabah dalam bertindak karena ini juga berkaitan dengan investasi,” katanya. Namun, tindakan tegas perlu dilakukan agar kejadian ini tidak terulang.
Adapun tujuh perusahaan yang diselidiki KLHK di Sumsel adalah PT WAG, MBJ, dan DGS yang beroperasi di Ogan Komering Ilir, serta PT DIL dan TIA di Musi Rawas. Selain itu, PT LPI, perusahaan asal Singapura yang beroperasi di Ogan Komering Ulu, dan PT HBL yang beroperasi di Kabupaten Musi Banyuasin.