Terapkan Alokasi Anggaran BPJS Kesehatan yang Berkeadilan
BPJS Kesehatan perlu memfokuskan alokasi anggaran pada setiap kelompok warga yang benar-benar membutuhkan layanan. Keadilan terhadap warga yang kurang mampu dibutuhkan, dengan menerapkan kompartemenisasi dana warga.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO/KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan perlu memfokuskan alokasi anggaran pada setiap kelompok warga yang benar-benar membutuhkan layanan. Keadilan terhadap warga yang kurang mampu dibutuhkan, dengan menerapkan kebijakan kompartemenisasi dana masyarakat. Tanpa itu, upaya pemerataan layanan kesehatan bakal sulit terwujud.
Hal itu disampaikan Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) Laksono Trisnantoro, dalam lokakarya bertajuk "Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Pemerataan Kuratif" yang digelar di UGM, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (8/10/2019).
Menurut Laksono, selama ini, sistem penganggaran yang dianut BPJS Kesehatan berupa single pool. Dengan mekanisme itu, anggaran yang terkumpul dari tiap kelompok peserta layanan, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI), Pekerja Penerima Upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) masuk dalam satu manajemen.
"Sekarang semua anggaran masuk dalam satu kantong, dicampur anggarannya. Otomatis semua anggaran dinikmati semua peserta, tanpa membedakan orang kaya atau warga miskin. Kemudian yang menikmati fasilitas mewah dalam layanan ini orang-orang kaya, anggaran untuk warga miskin sebagian besar tersedot," kata Laksono.
PBI adalah kelompok masyarakat tidak mampu yang ditetapkan sesuai peraturan perundangan. Jumlah peserta dari kalangan tersebut sekitar 94 juta orang dari total peserta sebesar 221 juta orang hingga Agustus 2019. Menurut data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, hingga Oktober 2018, anggaran untuk PBI dalam penyelenggaraan JKN tersisa Rp 3,35 triliun. Pada 2017, anggaran yang tersisa pada kelompok tersebut mencapai Rp 4,68 triliun.
Terkait hal itu, Laksono mengungkapkan, dalam model anggaran single pool, sisa anggaran tersebut digunakan untuk menutup defisit peserta dari kelompok lainnya. PBPU menjadi kelompok peserta yang mengalami defisit paling besar. Hingga Oktober 2018, terjadi defisit mencapai nilai Rp 15 triliun.
Kondisi itu terjadi akibat penunggakan pembayaran iuran dari kelompok tersebut. Sementara itu, peserta dari kelompok itu menggunakan layanan kesehatan dengan biaya yang sangat besar. Berdasarkan hasil audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), peserta yang aktif membayar berjumlah 54 persen, sedangkan sisanya 46 persen tidak aktif membayar.
Menurut Laksono, sisa anggaran dari PBI itu sebenarnya bisa untuk mengimplementasikan kebijakan kompensasi. Contohnya adalah pengiriman dokter ke kawasan-kawasan terpencil untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat yang sulit memperoleh layanan kesehatan.
Oleh karena itu, Laksono merekomendasikan agar menyusun kebijakan kompartemenisasi dalam penganggaran. Maksud dari kebijakan itu agar anggaran dimanfaatkan oleh kelompok peserta yang tepat. Ia menilai, pemanfaatan anggaran sisa dari PBI untuk menutup defisit dari PBPU tidak sesuai peruntukan. Ada kesan, dana orang miskin dimanfaatkan oleh kelompok mampu.
Dalam pandangan Laksono, kelompok PBPU termasuk golongan mampu. Iuran kesehatan seharusnya bukan menjadi beban yang berarti bagi kelompok tersebut. Kesadaran agar mau membayar iuran itu perlu didorong.
Karena itu perlu pergelolalaan keuangan BPJS Kesehatan yang berkeadilan. Di Thailand misalnya, orang kaya membiayai kesehatan sendiri. Negara menanggung warga negara yang benar-benar tidak mampu secara finansial, sesuai ketentuan undang-undang.
"Tetapi untuk ini, ada peraturan yang harus diubah. Jika tidak, tujuan pemerataan dalam pelayanan kesehatan tidak akan tercapai. BPJS akan digunakan oleh anggota yang relatif mampu di kota-kota besar atau dekat kota besar, sementara masyarakat NTT, Papua, dan Maluku tidak terlayani maksimal," jelas Laksono.
Terkait kebijakan kompartemenisasi, Laksono mengungkapkan, hal itu dilakukan dengan cara membuat kantong pengelolaan dana berdasarkan kelompok peserta.
Dihubungi terpisah, Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma\'ruf menyampaikan, program JKN berbasis gotong-royong. Semua pihak membayar iuran dan tidak ada yang dibeda-bedakan. Masalah keaktifan peserta pembayaran mandiri memang masih perlu ditingkatkan. Hal itu agar subsidi silang yang diharapkan dalam program ini benar-benar terjadi.
"Salah satu asasnya ekuitas atau kesetaraan. Kewajiban berwarganegara ditunaikan dulu. Baru bisa memilih asuransi tambahan. Kalau dibebaskan, program ini bicara tentang subsidi silang. Yang golongan banyak risiko itu harus bisa ditanggung banyak orang," kata Iqbal.