Komisi Pemilihan Umum mematangkan rencana menerapkan metode rekapitulasi elektronik dalam pemilihan kepada daerah serentak pada 2020. Metode itu diharapkan dapat memangkas waktu dan biaya penyelenggaraan pesta demokrasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum mematangkan rencana penerapan metode rekapitulasi elektronik dalam pemilihan kepada daerah serentak pada 2020. Metode itu diharapkan memangkas waktu dan biaya penyelenggaraan pesta demokrasi yang akan digelar di 270 daerah tersebut.
KPU mengajukan proposal kerja sama kepada Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk membangun sistem rekapitulasi elektronik. Sistem ini juga diyakini akan meningkatkan transparansi karena data pemilu dapat diakses oleh masyarakat.
“Ide penggunaan sistem ini muncul karena kami berpikir pemilu harus murah, efektif, dan efisien,” ujar Ketua KPU Arief Budiman saat berkunjung ke Gedung Rektorat ITB, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (11/10/2019).
Penggunaan rekapitulasi elektronik pada Pilkada 2020 merupakan program jangka pendek. KPU menargetkan sistem itu dapat diterapkan untuk Pemilu 2024.
KPU menyiapkan beberapa opsi dalam sistem tersebut. Opsi pertama, data rekapitulasi dari TPS langsung dikirim ke pusat tabulasi data. Opsi kedua, data dari TPS diantar ke tingkat kecamatan untuk dikirm ke pusat tabulasi.
Sementara opsi ketiga, data dikumpulkan di kabupaten/kota lalu dikirim ke pusat tabulasi. Opsi diperlukan karena situasi dan kondisi jaringan internet di setiap daerah berbeda.
Sistem ini juga diyakini dapat menghemat biaya pemilu. Sebab, pendanaan untuk rekapitulasi berjenjang secara manual akan terpotong karena sudah menerapkan sistem elektronik
“Jangkauan jaringan internet di beberapa daerah sudah sampai ke desa-desa. Namun, ada juga yang baru bisa dijangkau di kecamatan,” ujar Arief.
Menurut Arief, sistem elektronik akan mempersingkat waktu rekapitulasi. Dia mencontohkan, dengan sistem manual, dibutuhkan waktu 35 hari untuk menetapkan hasil pemilihan legislatif secara nasional.
Sementara dalam pemilihan gubernur dibutuhkan waktu 14 hari dan pemilihan bupati/wali kota memerlukan 7-10 hari. “Dengan sistem elektronik, waktu rekapitulasi diperkirakan tidak lebih dari lima hari,” ujarnya.
Sistem ini juga diyakini dapat menghemat biaya pemilu. Sebab, pendanaan untuk rekapitulasi berjenjang secara manual akan terpotong karena sudah menerapkan sistem elektronik.
Namun demikian, Arief tidak merinci nilai investasi untuk membangun sistem tersebut. “Tidak butuh biaya besar karena kita sudah punya teknologinya,” ujarnya.
Menurut Arief, praktik rekapitulasi elektronik sudah diterapkan pada Pemilu 2019 dengan menggunakan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Jadi, selain teknologi, faktor sumber daya manusia KPU juga dinilai cukup siap untuk menerapkannya pada Pilkada 2020.
“Hanya saja Situng tidak ditetapkan sebagai hasil resmi Pemilu 2019. Dalam rekapitulasi elektronik, data yang masuk ke pusat tabulasi akan diusulkan untuk ditetapkan sebagai hasil pemilu yang resmi,” ucapnya.
Akan tetapi, penggunaan rekapitulasi elektronik ini membutuhkan landasan hukum. Arief mengatakan, pihaknya sedang merancang Peraturan KPU serta akan berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR.
KPU juga akan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sebab, anggaran penyelenggaraan pilkada berasal dari APBD.
“Persoalan landasan hukum dan administrasi ditargetkan selesai 2019. Jadi, pelatihan dan simulasi dapat dilakukan pada Januari-Maret 2020,” ujarnya.
Anggota KPU Evi Novida Ginting berharap, rencana penggunaan rekapitulasi elektronik itu mendapat dukungan semua pihak. Menurut dia, sistem itu sangat penting mewujudkan pemilu yang murah, namun transparan dan kredibel.
Rektor ITB Kadarsah Suryadi berterima kasih atas kepercayaan KPU untuk melanjutkan kerja sama. Tim ITB juga terlibat dalam pembuatan Situng yang digunakan dalam Pemilu 2019.
“Kami siap mengerjakannya. Ini juga kesempatan bagi ITB untuk berkontribusi, tidak hanya dalam lingkup kampus, tetapi juga negara,” ujarnya.