Prapatan Jalan Anak Agung Gede Ngurah, Kota Mataram, Ibu Kota Nusa Tenggara Barat, Agustus 2019. Seorang pengemudi mobil jeep menepi sejenak ke pinggir jalan protokol itu.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·5 menit baca
Prapatan Jalan Anak Agung Gede Ngurah, Kota Mataram, Ibu Kota Nusa Tenggara Barat, Agustus 2019. Seorang pengemudi mobil jeep menepi sejenak ke pinggir jalan protokol itu. Beberapa saat kemudian, seorang ibu, penumpang mobil yang duduk di jok belakang, seraya mulutnya mengunyah, melempar tas kresek berisi sampah lewat jendela mobil ke jalan. Seorang pejalan kaki nampak geleng kepala sambil berteriak, "Ibuuu, ibuuu,” seakan protes prilaku ibu yang sembarangan buang sampah itu.
Prilaku ibu itu adalah satu contoh tantangan bagi pasangan Gubernur-Wakil Gubernur NTB Zulkieflimansyah-Sitti Rohmi Djalilah, yang menggelar program zero waste, salah satu program ‘NTB Gemilang’.
Tantangannya adalah mengubah prilaku dari bebas membuang sampah menjadi membuang sampah pada tempatnya, memerlukan kesadaran yang tumbuh dari dalam diri tiap individu. Pun menumbuhkan kesadaran dan inisiatif, bukan dalam sekejap, bukan soal teknis, tetapi cara pendekatan dan komunikasi terus menerus kepada masyarakat.
“Buang sampah bukan soal teknis semata, tetapi juga soal ideologi dan keyakinan, yaitu soal apa yang bikin seseorang itu bersih dan soal apa yang bikin orang itu kotor. Untuk mengkomunikasikannya tentu dengan bahasa yang sekali ucap saja langsung nyantol di otak dan hati seseorang,” ujar M Yamin, Budayawan Sasak, Lombok.
Komunikasi yang baik menjadi penting dalam program zero waste yang intinya memobilisasi masyarakat untuk menerapkan cara hidup bersih dan sehat. “Masyarakat (etnis Sasak) di Lombok, akrab dengan kata mones (=bersih), ketimbang zero waste. Paling tidak dengan mengucap mones, orang yang mendengar kata itu punya gambaran sekilas, apa maunya program zero waste itu, sehingga bisa lebih mudah memobilisasi masyarakat,” ucap Yamin.
Buang sampah bukan soal teknis semata, tetapi juga soal ideologi dan keyakinan, yaitu soal apa yang bikin seseorang itu bersih dan soal orang itu kotor. Untuk mengkomunikasikannya tentu dengan bahasa yang sekali ucap saja langsung nyantol di otak dan hati seseorang, ujar M Yamin
Regulasi
Program NTB bersih sampah itu di antaranya bertujuan mengurangi sampah plastik dengan cara ‘3 R’: reuse (gunakan lagi), reduce (kurangi) dan recycle (daur ulang). Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, Dani Mukarram, zero waste merupakan gerakan bersama Pemprov NTB, 10 Kabupaten-Kota dan Desa-Kelurahan di NTB.
Di tiap Desa akan dibentuk bank sampah selaku penampung/pembeli produk sampah yang sudah dipilah. Dalam APBD NTB murni 2019, dialokasikan anggaran sekitar Rp 13 miliar bagi pembentukan bank sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Kebun Kongok, Desa Banyumulek, Lombok Barat.
Kemudian Pemerintah Desa, termasuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)- diminta mengalokasikan Dana Desa untuk mendirikan bank sampah yang pengelolaannya melibatkan aparat desa dan warga desa sebagau motor penggerak utama NTB bebas sampah tahun 2023.
Malah Wakil Gubernur NTB, Sitti Rohmi Djalillah, menginstruksikan kegiatan sosialisasi dan edukasi zero waste terintergrasi dengan program Posyandu seperti immunisasi dan penimbangan bayi. Kini sejumlah regulasi tengah digodok yang akan mengatur secara jelas peran Pemprov NTB dan Kabupaten-Kota.
Soal regulasi itu urusan antarpemerintah, kecuali semua pihak berharap aturan dan ketentuan itu tidak sebatas di atas kertas. Yang jelas, mengubah cara pandang masyarakat terhadap sampah bukan pekerjaan biasa, karena terkait dengan mengubah prilaku, persepsi dan kebiasaan seseorang.
Kenyataannya –meski program zero waste digelar, sampah masih bertebaran dari lingkungan kampung hingga di jalan-jalan utama kota provinsi dan kabupaten. Contohnya, saluran air sepanjang 30 meter di depan Kantor Perpustakaan Daerah NTB di Mataram, dijejali rupa-rupa sampah plastik. Begitu pun Lingkungan Sekarbela, dan Lingkungan Kekalek, Kota Mataram, adalah pelanggan tetap banjir tiap musim hujan, karena saluran air tersumbat sampah plastik.
Kondisi itu mengindikasikan sampah lebih banyak dibuang di sembarang tempat ketimbang menjadi ‘penghuni’ TPA. Menurut M Syawal, Ketua Bank Sampah Bintang Sejahtera, Penampung produk sampah plastik dan sampah organik lainnya di Kota Mataram, produksi sampah di NTB, Januari-September 2019 mencapai 3.490 ton per hari di NTB.
Dari total produksi itu hanya 13 persen (453 ton) yang tiba di TPA, sisanya 3.037 ton bisa jadi dibuang ke sembarang tempat. Jumlah sampah harian tahun 2019 itu akan bergerak naik tahun berikutnya seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Maka kalau ingin mencapai ‘3 R’ tadi, targetnya tidak usah muluk-muluk. Atau dalam bahasa Syawal, “Saya pikir masyarakat berpikir dulu mau buang sampahnya kemana. Ini saja merupakan lompatan pola pikir sangat bagus sekaligus dukungan bagi program zero waste”.
Bayar kuliah
Lompatan pemikiran itu ada pada diri Sudiati (36), warga Lingkungan Bendega, Kelurahan Tanjung Karang, Kota Mataram, yang mendapatkan sumber nafkah sebagai pemulung. Ia ‘memburu’ sampah plastik usai salat dzuhur empat kali seminggu, atau membeli sampah dari pemulung lainnya.
Sampah ember plastik, botol dan gelas bekas wadah air minum dikumpulkan, dipilah dan dijual ke bank sampah dua kali dalam sebulan. Untuk sampah gelas plastik air mineral dijual Rp 2.500 per kg, botol plastik bekas wadah air mineral (600 ml) dijual Rp 3.700 per kg, kaleng bekas wadah minuman dijual Rp 11.000 per kg. Sekali penjualan ia mengantongi Rp 1,3 juta. “Pasti ada untungnya, tapi habis membeli kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak,” ujar ibu empat anak itu.
Hal senada dikatakan Suryaningsih, warga Lingkungan Oloh, Kelurahan Monjok Barat, Kecamatan Selaparangm Mataram. Ia memburu sampah plastik, kardus dan lainnya selama pukul 05.30-l 07.00 wita di sekitar kampungnya.
Tiap bulan atau dua bulan sekali pembeli datang mengambil sampah yang dikumpulkan dan dipilahnya. Namun saat ini, menyusul bertambahnya pemulung, penghasilan Suryaningsih sekali jual Rp 150.000, atau menurun dibanding tahun 2016 sebesar Rp 300.000.
Soal sampah juga menginspirasi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Mataram. Menurut Dekan Fakultas Teknik UNU Mataram Kata Gandewa Tunas Rancak, kampus membolehkan mahasiswa membayar uang kuliah dengan sampah plastik. “Alasannya banyak mahasiswa putus kuliah di semester III dan V karena tidak punya uang untuk bayar kuliah dan penelitian,” ujar Dewa.
Mahasiswa diberikan solusi dengan mengumpulkan sampah plastik. Universitas itu merangkul dua bank sampah selaku pembeli sampah. Harga jualnya mengikuti standar harga dua bank sampah itu. Mahasiswa bisa memonitor jumlah dan hasil penjualan sampah melalui aplikasi android.
Uang penjualan sampah itu ditabung, dikonversi dengan besaran uang kuliah. “Kami lauching program itu 29 September lalu. Target awalnya 20 nasabah (mahasiswa), eh malah sekarang ada 40 nasabah, sampah yang terkumpul 2,5 kuintal, yang semuanya kami jual ke bank sampah,” kata Dewa.
Sampah bukan semata membikin kotor lingkungan, melainkan bisa menjadi berkah seperti dinikmati Sudiati, Suryaningsih dan para mahasiswa tadi. Mereka akan berpikir ulang membuang sampah sembarangan, yang berarti membuang percuma penghasilannya.