Perburuan satwa liar di Kota Bitung, Sulawesi Utara, tak menunjukkan penurunan selama dua tahun terakhir. Untuk menekan angka perburuan hingga nol, pemerintah kota menginisiasi pelatihan bagi satuan tugas.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Perburuan satwa liar di Kota Bitung, Sulawesi Utara, tak menunjukkan penurunan selama dua tahun terakhir. Untuk menekan angka perburuan hingga nol, pemerintah kota menginisiasi pelatihan bagi satuan tugas yang telah dibentuk sejak 2017. Hal itu diharapkan memperkuat kemampuan anggota satgas dalam menangani masalah perburuan satwa liar.
Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, terjadi 125 kasus perburuan satwa liar pada 2018 di tiga wilayah konservasi di Bitung, yaitu Cagar Alam (CA) Tangkoko-Batuangus, Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, dan TWA Batuangus. Sepanjang Januari-Oktober 2019, terungkap 119 kasus perburuan, hanya terpaut enam kasus dari jumlah tahun lalu.
“Data ini kami peroleh dari hasil patroli. Tak jarang pula kami menemukan jerat saat patroli,” kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Bitung BKSDA Sulut Yakub Ambagau, Selasa (22/10/2019), di Manado.
Tikus biasanya terkena jerat jenis strapping, sedangkan jerat nilon atau sling untuk menangkap babi.
Sebagian dari hewan yang diburu adalah satwa endemik, seperti yaki (Macaca nigra), julang sulawesi (Aceros cassidix), serta beberapa jenis burung rangkong lainnya. Para pemburu juga memasang jebakan untuk menangkap kuskus, tikus hutan, kelelawar, babi hutan, dan ayam hutan. “Tikus biasanya terkena jerat jenis strapping, sedangkan jerat nilon atau sling untuk menangkap babi,” kata Yakub.
Untuk itu, Pemkot Bitung telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan dan Pengawasan Tumbuhan dan Satwa Liar Bitung pada 27 Oktober 2017. Satgas Bitung terdiri dari 15 instansi daerah, antara lain Dinas Lingkungan Hidup Bitung, BKSDA, Polda Sulut, Polisi Air dan Udara Sulut, Bea Cukai Bitung, serta beberapa lembaga karantina.
Dalam menjalankan fungsi konservasi, mengawasi, mencegah, serta menegakkan hukum, satgas ini dibantu empat lembaga konservasi, antara lain Wildlife Conservation Society (WCS). Dua BUMN terlibat dalam satgas ini, salah satunya PT Pelindo 4.
Sekretaris Daerah Bitung Audy Pangemanan, yang mengetuai Satgas Bitung, mengatakan, kegiatan satgas tersebut selama dua tahun antara lain merehabilitasi dan melepaskan kembali satwa liar ke habitatnya di Hutan Tangkoko. Namun, institusi anggota satgas perlu berkonsolidasi untuk menghapuskan perburuan satwa liar.
Karena itu, pemkot menggelar pelatihan penegakan hukum untuk kali pertama bagi Satgas Bitung. “Kami harapkan, setelah ini koordinasi dan kolaborasi bisa makin baik dalam mencegah perburuan satwa liar,” katanya.
Setelah pelatihan, kami akan membuat rencana aksi yang mencakup edukasi, sosialisasi, penindakan, serta perlindungan ekosistem.
Wali Kota Bitung Max J Lomban mengatakan, pelatihan ini perwujudan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Pelatihan akan mencakup pengenalan hutan dan fungsinya, pengenalan satwa-satwa liar yang dilindungi, serta penjelasan tugas dan kewenangan masing-masing instansi dalam penegakan hukum.
“Satgas harus mengerti lebih dulu tentang konservasi ekosistem. Setelah pelatihan, kami akan membuat rencana aksi yang mencakup edukasi, sosialisasi, penindakan, serta perlindungan ekosistem,” kata Max.
Pemkot Bitung juga akan memperkenalkan delapan peraturan daerah tentang tindak pidana perburuan satwa liar yang baru saja dibuat. Max mengatakan, beberapa peraturan daerah telah diberi nomor oleh Pemprov Sulut, tapi belum disahkan melalui paripurna di DPRD Bitung.
Ketua WCS Noviar Andayani mengatakan, perburuan dan perdagangan satwa liar adalah ancaman paling serius terhadap keseimbangan ekosistem. Ia mengapresiasi inisiatif Pemkot Bitung dalam membentuk satgas dan mengadakan pelatihan.
“Tugas WCS adalah memberikan bantuan teknis dalam melestarikan keanekaragaman hayati, termasuk di Sulawesi. Tapi, melestarikan Sulawesi perlu upaya semua pihak. Model kolaboratif antara lembaga swadaya dengan pemerintah di Bitung bisa menjawab permasalahan konservasi,” kata Andayani.
Tantangan
Dari total luas 313 kilometer persegi, sebanyak 42,67 persen wilayah Bitung adalah hutan, baik hutan lindung maupun hutan wisata di wilayah Gunung Tangkoko dan Gunung Duasaudara. Hutan tersebut adalah rumah bagi berbagai satwa liar dan endemik, seperti yaki, tarsius, babirusa, serta berbagai jenis burung, termasuk yang bermigrasi dari Australia.
Max Lomban mengatakan, tantangan bagi konservasi di Bitung akan makin besar di masa depan. Sebab, Bitung bukan hanya pusat konservasi, melainkan juga pusat industri yang akan berkembang menjadi pusat perdagangan bagi wilayah timur Indonesia.
“Bitung adalah pintu gerbang Pasifik. Pelabuhan hub internasional sedang dikembangkan di sini. Kalau perburuan dan perdagangan satwa liar terus berlangsung, bisa saja satwa dari luar masuk ke sini dan membawa penyakit yang mengancam ekosistem kita,” katanya.
Andayani membenarkan, dalam berbagai kasus, Bitung menjadi pintu keluar bagi perdagangan satwa di timur Indonesia. “Kami pernah menemukan transaksi penjualan burung-burung paruh bengkok dan cenderawasih,” katanya.
Ia berharap, upaya konservasi terus berlanjut dan berkembang di Bitung, bahkan Sulawesi. “Sulawesi adalah tempat spesial bagi WCS. Saya harap, penegakan hukum semakin baik di masa depan,” katanya.