Tata Kelola Keuangan Pemerintah Daerah di Jatim Memburuk
Tata kelola keuangan pemerintah daerah di Jawa Timur memburuk. Jumlah daerah yang mendapat penilaian wajar dengan pengecualian selama semester pertama 2019 meningkat dari sebelumnya.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Tata kelola keuangan pemerintah daerah di Jawa Timur memburuk. Jumlah daerah yang mendapat penilaian wajar dengan pengecualian selama semester pertama 2019 meningkat dibandingkan dengan sebelumnya.
Hal itu dinilai sebagai kejadian luar biasa di tengah upaya pemerintah pusat memperbaiki kinerja pemerintah daerah. Selain itu, penurunan penilaian laporan kinerja keuangan menjadi ironi di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jatim menyebutkan, ada tiga kabupaten dan kota dari 38 daerah di Jatim yang menerima opini wajar tanpa pengecualian (WTP), yakni Kabupaten Jember, Kabupaten Tulungagung, dan Kota Pasuruan. Jumlah tersebut naik dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya dua daerah, yakni Kabupaten Sampang dan Kabupaten Lumajang.
Hal itu mengemuka dalam acara Kunjungan Kerja Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Rangka Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Semester I BPK Tahun 2019, di Sidoarjo, Selasa (22/10/2019). Kegiatan ini dihadiri 12 anggota DPD dan pejabat BPK Perwakilan Jatim.
”Sebelumnya, dari total 39 entitas (38 kabupaten/kota dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur) yang diperiksa, sebanyak 37 mendapat penilaian WTP, sedangkan dua entitas WDP (wajar dengan pengecualian). Sekarang hanya 36 yang mendapat WTP, sedangkan WDP ada tiga,” ujar Kepala BPK Perwakilan Jatim Harry Purwaka.
Kabupaten Sampang dan Kabupaten Lumajang telah memperbaiki tata kelola keuangan daerahnya sehingga penilaian mereka naik menjadi WTP. Adapun Kabupaten Jember dan Tulungagung serta Kota Pasuruan justru terdegradasi dari sebelumnya mendapat opini WTP menjadi WDP.
Sebaliknya, tiga kabupaten justru mengalami penurunan akuntabilitas tata kelola keuangan daerah. Di Jember, permasalahannya antara lain terkait penyusutan aset yang dinilai tidak wajar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sementara di Tulungagung permasalahannya antara lain terkait kelebihan pembayaran realisasi belanja modal pembangunan jalan, irigasi, dan jaringan sebesar Rp 6,5 miliar. Kelebihan itu tak kunjung dikembalikan.
Contohnya, menginstruksikan pejabat daerah menyelesaikan kerugian negara akibat kelebihan pembayaran.
Adapun permasalahan keuangan di Kota Pasuruan antara lain terkait dengan aset pemerintah daerah berupa gedung yang sudah selesai pekerjaan pembangunannya, bahkan sudah dimanfaatkan, tetapi tercatat sebagai aset yang masih dalam pengerjaan.
Terhadap temuan-temuan permasalahan tersebut, BPK sudah memberikan rekomendasi untuk ditindaklanjuti. Juga dilakukan pendampingan dan pelatihan agar laporan keuangannya sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan, memiliki kecukupan informasi laporan, efektivitas sistem pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap perundangan.
”Contohnya, menginstruksikan pejabat daerah menyelesaikan kerugian negara akibat kelebihan pembayaran,” kata Harry.
Barometer kinerja
Ketua Komite IV DPD Elviana mengatakan, Jatim merupakan barometer kinerja pemerintah daerah. Selain memiliki jumlah kabupaten dan kota terbanyak di Indonesia, sumber daya manusianya juga jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan daerah lain di luar Jawa. Oleh karena itu, jadi penting untuk mengungkap penyebab turunnya kinerja tata kelola keuangan yang menjadi kejadian luar biasa tersebut.
”Dengan menemukan penyebabnya, DPD bisa berperan dalam merekomendasikan perbaikan tata kelola keuangan daerah pada masa mendatang,” ucap Elviana.
Kualitas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) menjadi perhatian nasional sebab penurunan opini selama rentang 2018 jauh lebih banyak dibandingkan 2017. Sebagai gambaran, dari 542 LKPD yang diperiksa BPK pada 2018, sebanyak 15 LKPD atau sekitar 3 persen mengalami penurunan opini. Padahal, pada 2017, hanya 14 LKPD yang mengalami penurunan opini.
Data BPK menyebutkan, dari 542 LKPD tahun 2018 tersebut, sebanyak 443 atau 83 persen mendapatkan opini WTP dan 86 atau 16 persen mendapat opini WDP. Sisanya, 13 LKPD atau 2 persen, mendapat opini tidak menyatakan pendapat (TMP).
Elvina menambahkan, dalam kurun lima tahun terakhir (2014-2018), opini LKPD terus mengalami perbaikan. Indikasinya, jumlah LKPD yang memperoleh opini WTP naik 35 persen, dari 47 persen pada 2014 menjadi 82 persen pada 2018.
Sementara itu, selama 2015-2019, BPK telah mengeluarkan 148.762 rekomendasi atas hasil pemeriksaan LKPD di 542 pemerintah daerah. Potensi kerugiannya mencapai Rp 31 triliun. Dari jumlah tersebut, rekomendasi yang ditindaklanjuti sesuai harapan sebanyak 91.262 atau 61 persen dengan nilai Rp 15 triliun.
Adapun sisanya sebanyak 30 persen rekomendasi sudah ditindaklanjuti, tetapi belum sesuai dengan rekomendasi yang diberikan, sebanyak 7,8 persen rekomendasi belum ditindaklanjuti, dan sebanyak 0,1 persen rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti karena berbagai penyebab. Salah satu sebabnya, institusi yang bertanggung jawab telah dibubarkan.