Jepin diharapkan menjadi semangat perbaikan menuju Kota Pontianak yang semakin baik. Di dalamnya terangkum akumulasi budaya, kreativitas, dan potensi ekonomi.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Jepin diharapkan menjadi semangat perbaikan menuju Kota Pontianak yang semakin baik. Di dalamnya terangkum akumulasi budaya, kreativitas, dan potensi ekonomi.
Harapan itu diapungkan saat jepin kembali ditarikan ribuan peserta yang terdiri dari pegawai negeri sipil, masyarakat, dan pelajar, mengikuti senam jepin massal di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (23/10/2019). Jepin massal itu digelar memeringati Hari Ulang Tahun Pontianak ke-248.
Jepin, seni tari dan lagu, adalah salah satu contoh proses adaptasi dan akulturasi antara Islam dan budaya lokal tumbuh secara unik. Awalnya, seni ini menjadi alat dakwah para saudagar dari Hadramaut, Yaman, yang menyebarkan Islam di Nusantara pada abad ke-13 Masehi.
Sarana syiar agama itu lantas berkembang sebagai kreasi seni penuh variasi. Salah satu kantong Jepin ada di kawasan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalbar, sekitar empat jam dari Pontianak
Ribuan peserta sejak pagi telah memadati kawasan Alun-alun Kapuas. Mereka menggunakan pakaian adat Melayu. Perempuan menggunakan baju kurung berbagai warna cerah serta balutan nuansa tenun corak insang.
Sedangkan para laki-laki menggunakan tanjak, yakni ikat kepala dalam pakaian adat Melayu. Sedikitnya 10.000 orang hadir dalam acara itu. Museum Rekor Muri Indonesia menobatkan acara itu sebagi jepin massal berbusana baju kurung terbanyak.
Saat waktunya menampilkan jepin tiba, peserta berbaris memanjang sekitar 1 kilometer. Lagu berjudul “Kote Pontianak” pun dimainkan salah satu kelompok musik. Perpaduan rebana, alunan biola, drum dan keyboard, mengalun merdu. Tubuh peserta satu per satu mulai berlenggang.
Peserta berlenggak-lenggok lincah dengan senyuman ramah. Senyuman peserta perempuan dengan perpaduan balutan busana baju kurung serta tenun insang memberikan sentuhan anggun. Tepuk tangan dan sorak sorai pun kerap terdengar. Setelah sekitar 4 menit musik pun berhenti. Namun, seperti kurang puas, “Kote Pontianak” kembali dilagukan. Mereka kembali menari.
Setelah selesai berjepin, giliran parade tanjidor unjuk gigi. Para pemain tanjidor menggunakan baju Melayu berwarna oranye dengan sentuhan tenun insang. Terompet dan drum membahana di sekitar Alun-alun Kapuas.
Para pemain tanjidor itu memainkan lagu-lagu Pontianak, salah satunya "Sungai Kapuas". Lagu itu berkisah tentang Sungai Kapuas dan peradaban masyarakat Pontianak yang dekat dengan budaya sungai.
Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia Totok Sudarwoto menuturkan, Pontianak dikenal lewat perpaduan budaya berbagai suku, corak dan tradisinya. Uniknya, semuanya bias dilihat dalam jepin. Dia yakin, bila terus dirawat, jepin akan menjadi peluang mendorong potensi ekonomi kreatif Pontianak.
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menuturkan, kegiatan ini jadi momen silaturahmi untuk menjadi modal membangun Pontianak. Harapannya, Pontianak menjadi kota yang nyaman bagi seluruh warganya.
Kegiatan ini jadi momen silaturahmi untuk menjadi modal membangun Pontianak
“Mari bekerja keras untuk menciptakan Pontianak yang nyaman. Pemerintah Kota Pontianak terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik,” kata Edi.
Sejauh ini, Edi mengatakan, Pontianak ada di jalur yang benar. Tingkat kemiskinan Pontianak turun dari 5,31 persen pada 2017 menjadi 5 persen pada 2018. Indeks pembangunan manusia juga meningkat dari 77,93 pada 2017 menjadi 78,56 pada 2018.
Akan tetapi, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di daerag dengan jumlah penduduk 667.000 jiwa ini. Ia mencontohkan, mulai dari banjir, kualitas air saat intrusi air laut masuk ke Sungai Kapuas, hingga kepedulian antarwarga Pontianak.
“Kalau sudah kumpul senang rasenye/ Makan durian terase enaknye/Udah 248 umurnye/ Pontianak name kotenye” kata Edi berpantun penuh harap.