Dalam mengaktualisasikan Pancasila, sebagai ideologi negara, Indonesia masih menemui sejumlah hambatan. Di antaranya yakni masih sempitnya ruang-ruang perjumpaan sosial masyarakat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Dalam mengaktualisasikan Pancasila sebagai ideologi negara, Indonesia masih menemui sejumlah hambatan. Di antaranya yakni masih sempitnya ruang-ruang perjumpaan sosial masyarakat dan belum tercapainya kesejahteraan bersama.
Pengurus Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif mengatakan itu di sela-sela diskusi kelompok terarah (FGD) “Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila” di Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Rabu (23/10/2019).
Pembicara lain dalam acara tersebut yakni sineas Garin Nugroho, Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Jamal Wiwoho, dan desainer Era Soekamto. Acara tersebut diselenggarakan Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia (FRI), dan Undip Semarang.
Yudi mengatakan, di tengah masyarakat yang majemuk, sempitnya ruang perjumpaan sosial menjadi kendala. Misalnya, orang-orang Papua yang sulit terhubung dengan warga dari daerah lainnya. Para mahasiswa Papua seharusnya hidup bersama dengan suku lainnya, bukan di asrama.
Padahal, antardaerah di Indonesia sudah terhubung. “Ada infrastruktur, gawai, dan lainnya. Namun, koneksi fisik ini tidak cukup kalau pikiran dan hatinya tak terkoneksi. Itu bisa terwujud hanya dengan berinteraksi bersama,” kata Yudi, yang juga Direktur Sekolah Pancasila.
Oleh karena itu, lanjut Yudi, perlu ada kebijakan dan pergerakan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan institusi lainnya. Sebab, Pancasila tak hanya urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), tetapi seluruh elemen yang ada.
Yudi menambahkan, persoalan kesejahteraan juga menjadi tantangan. “Perasaan sejahtera bersama akan memperkuat ikatan nasional. Kalau kesenjangan melebar, akan ada pikiran untuk apa hidup dalam negara sama. Hal tersebut pun bisa memicu kriminalitas,” ucapnya.
Untuk mencapai kemakmuran, Indonesia sudah memiliki keunggulan berupa sumber daya alam yang melimpah. Karena itu, pengolahan sumber daya alam mesti harus dilakukan, antara lain dengan fokus dalam pengembangan teknologi di berbagai bidang.
Jamal menuturkan, pemahaman terkait empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika perlu diperkuat. Sebab, apabila tidak dilakukan, perbedaan di tengah masyarakat akan berpotensi terjadi permasalahan sosial, yang dapat memicu radikalisme, kemudian terorisme.
Sementara itu, Garin menuturkan, revolusi industri 4.0 tak tumbuh dalam masyarakat sipil yang memiliki kelengkapan institusi nilai-nilai publik. Revolusi industri 4.0 juga tidak berjalan linier, tetapi bercampur aduk dengan warisan revolusi industri sebelumnya, yakni 1.0, 2.0, dan 3.0.
“Diperlukan manajemen generasi milenial yang genuine, kritis, dan produktif, dengan bekal peta kebangsaan yang lengkap. Manajemen ini bisa terbangun lewat strategi budaya milenial, yakni cara berpikir, bertindak, dan bereaksi suatu bangsa dalam setiap periode satu zaman,” ujarnya.