Sejumlah Saksi Meninggalnya Dua Mahasiswa Kendari Diancam
Sejumlah korban dan saksi kasus penembakan dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara masih berpotensi mendapatkan ancaman dari sejumlah pihak. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjamin keselamatan mereka.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Sejumlah korban dan saksi kasus penembakan dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara masih berpotensi mendapatkan ancaman dari sejumlah pihak. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjamin keselamatan mereka dan mendorong kepolisian untuk terbuka dalam menuntaskan kasus serta melindungi semua pihak.
Wakil Ketua LPSK Manager Nasution menyatakan, sejauh ini ada ancaman terhadap sejumlah saksi dan korban terkait kasus meninggalnya Muhammad Yusuf Kardawi (19) dan Randi (22) dalam demonstrasi pada Kamis (26/9). Ancaman itu ada yang faktual dan ada yang masih dalam potensi ancaman.
“Ada sejumlah saksi yang kami sedang tindaklanjuti untuk ditetapkan sebagai terlindung atau tidak. Berdasarkan investigasi awal, ancaman itu ada yang faktual dan ada yang potensi. Faktual itu saya belum bisa merinci seperti apa ancamannya dan ada yang masih potensi dengan tingkat bervariatif,” kata Manager di Kendari, Kamis (24/10/2019), saat berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Kendari.
Sebanyak 10 saksi tersebut akan ditetapkan sebagai terlindung dalam rapat paripurna pekan depan. Mereka terdiri dari mahasiswa, keluarga, dan pihak lainnya. Saksi-saksi ini terkait kejadian yang menyebabkan Randi dan Yusuf meninggal dunia dalam aksi unjuk rasa menentang sejumlah UU bermasalah, Kamis (26/9.
Selain itu, Manager menambahkan, dua orang saksi dan korban telah ditetapkan sebagai terlindung, dengan insial F dan P. Keduanya adalah suami istri, yang merupakan korban peluru nyasar ketika terjadi bentrok aparat dan mahasiswa.
“Dua orang ini sudah dalam perlindungan. Mereka sebetulnya tidak mendapat ancaman fisik, tapi ini merupakan bagian dari pemenuhan hak prosedur agar mereka merasa nyaman dan terlindungi dalam memberikan kesaksian. Apalagi di awal mereka cerita ada anjuran untuk jangan bercerita dulu (terkait peluru nyasar), tapi sekarang laporannya telah diterima dengan baik,” kata Manager.
Oleh karena itu, Manager mendorong kepolisian, khususnya Kapolda Sultra, untuk bekerja cepat, independen, dan terbuka, dalam menyelesaikan penyelidikan kasus yang menyebabkan dua orang meninggal dunia dan beberapa lainnya terluka. Terlebih, dengan adanya komitmen untuk menuntaskan kasus ini dengan segera.
Meski kasus meninggalnya Yusuf dan Randi telah menginjak hari ke-28, aparat kepolisian belum mengumumkan titik terang kasus yang sarat pelanggaran HAM ini. Randi diketahui ditembak peluru tajam yang mengenai bagian dada. Sementara Yusuf, sesuai temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), diduga terkena tembakan di kepala.
Polisi baru memroses enam aparat yang diketahui membawa senjata api dan mengeluarkan tembakan peringatan saat pengamanan aksi. Mereka saat ini menjalani sidang disiplin dengan sanksi terberat penahanan selama 21 hari.
Terkait proses pidana, kasus ini belum menunjukkan perkembangan berarti dengan belum adanya tersangka. Polisi beralasan sedang mengirimkan bukti proyektil dan berbagai bukti lainnya untuk diuji di Australia. Hal itu untuk mendapatkan opini lain dari hasil uji laboratorium dan forensik oleh Mabes Polri.
Kapolda Sultra Brigadir Jenderal Merdisyam menyampaikan, penyelidikan terus dilakukan Mabes Polri di bawah koordinasi Kabareskrim. Polda Sultra tidak terlibat langsung karena sebagai pihak terperiksa.
“Kami sampaikan penyelidikan terus berlangsung dan itu ada di ranah Mabes Polri. Untuk kasus disiplin dalam proses dan akan kami umumkan kalau hasilnya sudah ada,” kata Merdisyam.
Kekerasan jurnalis
Merdisyam, saat berkunjung ke Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, juga meminta maaf atas kasus kekerasan yang sebelumnya terjadi terhadap sejumlah jurnalis saat meliput aksi demonstrasi, Selasa (22/10). Sedikitnya sembilan jurnalis dari berbagai media mendapatkan intimidasi, penghapusan rekaman, hingga teror setelah aksi yang berujung bentrok tersebut.
Aksi ratusan mahasiswa yang berlangsung pada Selasa lalu itu menuntut polisi segera menetapkan tersangka penembakan dan pelaku yang menewaskan Yusuf dan Randi. Tidak menemui titik temu, aksi itu berujung bentrok hingga jelang malam. Sejumlah mahasiswa terluka, diamankan, dan dipukuli aparat. Wartawan yang berusaha melaporkan dan mendokumentasikan kejadian itu mendapatkan tindakan intimidasi oleh aparat berpakaian sipil maupun berseragam.
“Saya memohon maaf atas kasus yang terjadi ini. Saya berjanji akan mengusut kasus ini, karena saya paham akan peran penting media yang dijamin dalam aturan,” kata Merdisyam.
Zainal Ishaq, ketua AJI Kendari mengutuk keras tindakan kepolisian yang telah menghalangi kerja wartawan dan melakukan tindakan intimidasi hingga aksi teror. Aparat kepolisian tidak boleh menghalangi kerja jurnalistik para pewarta yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahu 1999 tentang Pers. Ia berharap polisi mengusut tuntas kasus ini, memberi sanksi oknum anggota yang bertindak represif, dan tetap menjunjung tinggi kebebasan berdemokrasi.