Dua komoditas ekspor yang selama ini menjadi andalan Kalimantan Tengah, yakni batubara dan kelapa sawit, dinilai belum memberikan keadilan ekonomi bagi masyarakat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah masih labil karena terlalu bergantung terhadap eksploitasi sumber daya alam. Dua komoditas ekspor yang selama ini menjadi andalan, batubara dan kelapa sawit, dinilai belum memberikan keadilan ekonomi bagi masyarakat Kalteng.
Hal itu terungkap dalam Upacara Pengukuhan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalteng di Palangkaraya, Kalteng, Jumat (25/10/2019). Jabatan yang dipegang oleh Wuryanto sebelumnya digantikan oleh Rihando. Upacara tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat daerah dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti.
Masih banyak masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan dan pertambangan masih miskin hidupnya.
Dalam sambutannya, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Kalteng saat ini masih di angka 7,76 persen, di atas rata-rata nasional. Hal itu dinilai berkat dua komoditas utama, yakni batubara dan ekspor crude palm oil (CPO) kelapa sawit.
“Tapi, ini belum adil. Masih banyak masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan dan pertambangan masih miskin hidupnya,” ungkap Sugianto.
Sugianto menambahkan, meskipun Kalteng menjadi wilayah dengan produksi CPO terbesar, yakni hingga dua juta ton per tahun, hal itu dinilai belum optimal. Banyak aspek pendukung ekonomi yang masih belum bisa dioptimalkan untuk kepentingan perekonomian rakyat Kalteng.
Harusnya, hilirisasi industrinya itu di sini.
“Kami belum punya pelabuhan, jadi kalau mau kirim CPO harus ke Kalimantan Selatan atau ke daerah lain, sehingga pajaknya ke sana. Banyak lagi aspek lainnya. Harusnya, hilirisasi industrinya itu di sini,” ungkap Sugianto.
Sugianto juga mengkritik kebijakan plasma yang belum dijalankan optimal oleh perusahaan perkebunan. “Seharusnya, dengan plasma, hitungan saya itu masyarakat bisa dapat Rp 4,5 juta per bulan, tetapi ini belum terealisasi,” katanya.
Melihat hal itu, Destry Damayanti menilai, Kalteng merupakan wilayah berpotensi besar tetapi belum tergarap serius. Seharusnya, dengan jumlah penduduk yang sedikit dan sumber daya alam yang melimpah, masyaraat Kalteng bisa jauh lebih sejahtera dari wilayah lain.
“Kami berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk berupaya agar pabrik itu tidak jauh dari bahan baku. Akan tetapi ini memang tidak mudah dan tidak bisa sendiri,” ungkap Destry.
Destry mengungkapkan, selain komoditas yang berbasis eksploitasi sumber daya alam, daerah juga harus melihat sektor lainnya seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pendampingan yang dilakukan pemerintah sudah dilakukan tak hanya pada kualitas produk, tetapi hingga pemasaran.
“Ini sudah berjalan dan diterapkan. Sekarang tidak hanya bisa bikin produk saja, tetapi harus juga bisa memasarkan di pasar digital,” ungkap Destry.
Selama ini, Bank Indonesia sudah memberikan bantuan, baik berupa modal usaha maupun pendampingan langsung bagi pelaku UMKM. Terkait hal ini, Sugianto meminta masyarakat untuk tidak selalu mengeluh ke pemerintah dan berupaya untuk bisa sukses dengan mandiri. “Setelah didampingi harus bisa mandiri, jangan malah mundur. Yang sukses karena tidak didampingi saja banyak,” ungkap Sugianto.
Pertanian
Selain UMKM, Kalteng juga memiliki potensi pertanian yang besar. Sebelumnya, perusahaan perkebunan untuk buah-buahan dan sayuran asal Uni Emirat Arab, Elite Agro, datang ke Kalimantan Tengah untuk melihat potensi perkebunan. Mereka pun sudah menandatangani letter of intent bersama Pemerintah Provinsi Kalteng.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Sunarti menjelaskan, investasi itu merupakan bagian dari program food estate yang sebelumnya sudah disiapkan lahan 5.000 hektar. “Ada buah-buahan seperti lemon, buah naga, nanas, kakao, kelapa dalam, dan banyak komoditas lainnya, bahkan pakan ternak,” ungkap Sunarti.