Mahasiswa UGM Teliti Peredam Suara Berbahan Limbah Onggok
Peredam suara juga dapat dihasilkan dari limbah, salah satunya onggok sisa pengolahan tepung aren. Inovasi tersebut ditemukan sekelompok mahasiswa dari FMIPA UGM.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Peredam suara juga dapat dihasilkan dari limbah, salah satunya onggok sisa pengolahan tepung aren. Inovasi tersebut ditemukan sekelompok mahasiswa dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Para mahasiswa itu adalah Ardhi Kamal Haq, Said Ahmad, Muhammad Dwiki, dan Pamela Chanifah Zahro. Mereka tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada (MIPA UGM).
Ardhi Kamal Haq, Ketua Tim Penelitian Limbah Onggok, mengatakan, ide pemanfaatan limbah onggok itu muncul sejak 2016. Adapun lokasi riset itu di Desa Daleman, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di daerah itu, ada banyak usaha kecil yang menyisakan limbah onggok dalam produksinya. Usaha kecil yang membuang limbah onggok itu berupa pabrik bihun. Limbah yang dihasilkan berkisar 600-700 kilogram per hari.
”Ada banyak limbah terbuang begitu saja. Namun, kami melihat, ada peluang pemanfaatan lain dari limbah ini. Khususnya dari limbah onggok yang berupa serat fiber dan serbuk. Ini bisa dijadikan panel akustik untuk peredam suara,” kata Ardhi di Laboratorium Fisika Material Fakultas MIPA UGM, Jumat (25/10/2019).
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mengolah limbah onggok menjadi panel akustik atau peredam suara adalah air, tepung kanji, serat fiber, dan serbuk dari limbah onggok. Sebelum diolah, serat fiber dan serbuk itu harus dipastikan dalam kondisi kering. Pengeringan dilakukan dengan cara menjemur di sinar matahari.
Langkah awal adalah pembuatan adonan dari tepung kanji. Adonan tersebut merupakan perekat bagi serat fiber dan serbuk limbah onggok. Kemudian, limbah onggok dicampur dengan adonan tersebut dan dimasukkan ke cetakan. Dalam pencetakan, campuran adonan tersebut juga harus ditekan dengan kekuatan 1.000 per inci persegi. Hal ini agar panel plastik yang dihasilkan bisa cukup padat.
Kemudian, campuran adonan itu harus dipanggang dalam oven dengan panas 100 derajat celsius. Waktu yang diperlukan untuk memanggang adonan dua jam. Setelah itu, baru memasuki tahap penyempurnaan dengan memoles panel akustik itu sampai bisa digunakan.
Ardhi menjelaskan, pengembangan panel akustik berbahan limbah onggok itu berlangsung selama lebih kurang tiga tahun. Pada 2017, tim baru mulai mencari formulasi. Hal itu dengan membuat perbandingan komposisi bahan-bahan. Saat itu, daya serapnya baru 60 persen.
Tahun 2018, panel akustik itu coba diuji dengan penambahan cat tembok interior. Hasilnya, daya serap suaranya mencapai 95 persen. ”Artinya, jika ada suara dengan kekuatan 100 desibel, bisa diredam hingga yang terdengar hanya 5 desibel,” ujar Ardhi.
Hasil inovasi tersebut sudah dilombakan dan meraih medali emas dalam ajang World Innovation Technology Expo (Wintex) 2019, yang digelar Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (Innopa) di Jakarta. Selain itu, September lalu, inovasi ini juga sudah didaftarkan hak kekayaan intelektual di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Namun, Ahmad Said, anggota Tim Penelitian Limbah Onggok, mengatakan, inovasi itu baru bisa menghasilkan prototipe. Belum bisa diproduksi secara massal. Timnya masih mempunyai masalah dalam hal peningkatan jumlah produksi. Ada banyak hal yang harus dipelajari lebih lanjut.
”Kami masih mencari referensi dan mempelajarinya lebih lanjut. Namun, inovasi ini sudah dipakai. Sudah dipasang juga. Dari sisi artistiknya, kami juga masih harus berbenah agar bisa lebih menarik untuk dijual,” kata Said.
Prototipe yang dihasilkan itu berukuran 50 cm x 50 cm. Satu panel akustik bisa dibuat dalam waktu paling sedikit dua hari. Daya tahan panel akustik itu diperkirakan lima tahun.