Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Bantul, DI Yogyakarta, kerap dijadikan pusat observasi anak berkebutuhan khusus. Namun, sekolah ini masih kekurangan 20 tenaga pengajar.
Oleh
kornelis kewa ama
·2 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Bantul, DI Yogyakarta, kerap menjadi pusat observasi anak berkebutuhan khusus. Namun, sekolah ini masih kekurangan 20 tenaga pengajar.
SLBN 1 Bantul telah lama menjadi pusat studi banding dari sejumlah SLB di luar DI Yogyakarta, pusat observasi mahasiswa dan dosen terkait anak berkebutuhan khusus. Beberapa lembaga DPRD dari luar DIY melakukan kunjungan kerja ke sekolah ini untuk mengetahui bagaimana proses belajar anak berkebutuhan khusus di sekolah ini.
Ketua Jurusan Tuna Grahita SLBN 1 Bantul Bambang Priyono, di Bantul, Jumat (25/10/2019), mengatakan, sekolahnya ditunjuk sebagai pembina dan pelayanan keberbakatan siswa SLB DIY. Saat ini ada 79 SLB se-DIY. Tujuh SLB milik pemerintah dan 72 SLB lainnya milik swasta.
”SLB ini lebih memprioritaskan pengembangan bakat dan kemandirian siswa sehingga tingkat ketergantungan terhadap orang sekitar berkurang. Mereka adalah generasi masa depan bangsa yang perlu dipersiapkan sedini mungkin. Tujuannya, berpartisipasi membangun bangsa ini sesuai kemampuan yang mereka miliki,” kata Bambang.
Setiap tahun, sekolah ini menggelar audisi keberbakatan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Setiap SLB di DIY mengutus perwakilan siswa dari sekolah itu, setelah melalui seleksi di setiap SLB. Bidang keterampilan yang ditampilkan antara lain musik, desain grafis, lukis, dan tari. Siswa potensial lantas didorong membuat album musik, baik individu maupun grup.
”Melalui media ini mereka diharapkan bisa mandiri di kemudian hari,” katanya.
Jumlah gurunya 92 orang sehingga idealnya masih membutuhkan 20 guru baru.
Akan tetapi, sekolah dengan 34 siswa atau terbanyak se-DI Yogyakarta itu kini kekurangan guru. Bambang mengatakan, jumlah gurunya 92 orang sehingga idealnya masih membutuhkan 20 guru baru. Selain itu, tahun ini, ada tujuh guru memasuki usia purnakarya dan tahun 2020 sebanyak tiga orang sehingga sekolah ini bakal kekurangan 30 guru dalam dua tahun ke depan.
”Sekarang kami terbantu 20 guru tenaga kontrak dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bantul, dengan keterampilan (jurusan) masing-masing. Untuk perekrutan bukan wewenang kami,” katanya.
Sri Hardiyanti (49), orangtua murid, mengatakan, anaknya, Aryani (10), mengalami kemajuan luar biasa. Aryani sudah bisa diajak berkomunikasi, bersosialisasi dengan teman, mencuci piring, dan berpakaian sendiri.
”Hanya emosinya belum stabil sehingga kadang marah tanpa sebab dan sulit diatasi. Sekarang kami fokus untuk menenangkan emosi. Sebagai orangtua, kami berharap ia nanti bisa masuk SMP formal,” kata Hardiyanti.