Pusat riset kebencanaan dinilai perlu didirikan di Lampung. Sebagai daerah yang rawan bencana, penelitian terkait bencana alam diperlukan agar mitigasi bencana bisa lebih baik.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
KALIANDA, KOMPAS — Pusat riset kebencanaan dinilai perlu didirikan di Lampung. Sebagai daerah yang rawan bencana, penelitian terkait bencana alam diperlukan agar mitigasi bencana bisa lebih baik.
”Mitigasi bencana tanpa riset itu sudah pasti gagal. Di sinilah peran perguruan tinggi. Lampung harus punya pusat riset kebencanaan,” ujar ahli geofisika dan vulkanologi Indonesia, Surono. Surono menjadi salah satu pembicara dalam konferensi ilmiah internasional bertajuk ”Green Technology and Infrastructure to Achieve Sustainable Development Goals”, Sabtu (26/10/2019), di Institut Teknologi Sumatera, Lampung Selatan, Lampung.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Lampung termasuk daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Hal itu mengingat lokasinya dekat Selat Sunda yang dilintasi zona sesar Sumatera dan dekat zona subduksi lempeng.
Gempa berpotensi terjadi akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Hiposenter gempa di zona transisi Megathrust-Benioff. Gempa merusak terakhir terjadi di Liwa, Lampung Barat, 15 Februari 1994. Gempa itu menyebabkan 196 orang tewas dan 2.000 orang luka-luka.
Dari penelitian yang dilakukan oleh BMKG, gempa bermagnitudo 8,7 dan dapat memicu tsunami berpotensi terjadi di Selat Sunda. Gempa itu diprediksi dapat merusak Jawa Barat, Banten, Lampung, dan Bengkulu (Kompas, 24/6/2016).
Menurut Surono, peneliti dari perguruan tinggi, seperti Institut Teknologi Sumatera, nantinya dapat berperan mengembangkan riset kebencanaan di Lampung. Salah satu yang perlu dilakukan adalah membuat pemetaan daerah rawan bencana dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.
Pemetaan wilayah ini penting agar pembangunan daerah dapat sesuai dengan tata ruang kebencanaan. Sebagai contoh, masyarakat di daerah rawan gempa dan tsunami, seperti di pesisir Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, semestinya tidak lagi bermukim di kawasan pesisir pantai.
Tsunami akibat runtuhan Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 lalu menghancurkan kawasan itu. Pemerintah daerah harus mampu menyediakan tempat tinggal di lokasi yang lebih aman. Selain itu, perlu juga dibangun jalur evakuasi di daerah rawan bencana. Dengan demikian, risiko jatuhnya korban jiwa saat terjadi bencana alam dapat ditekan.
Selain itu, juga diperlukan penguatan kesadaran terkait mitigasi bencana di masyarakat. Selama ini, banyak warga yang tetap bertahan di daerah rawan bencana karena alasan tempat tinggal hingga pekerjaan. Bahkan, masih ada masyarakat yang tidak mengetahui bahwa dirinya tinggal di daerah rawan bencana.
Hingga kini, kata Surono, belum ada teknologi di dunia yang dapat memprediksi kapan terjadinya gempa. Peneliti hanya dapat memprediksi besarnya kekuatan dan keberulangan gempa. Masyarakat di daerah rawan gempa perlu waspada karena potensi keberulangan gempa dapat terjadi di kemudian hari.
Sementara itu, Rektor Institut Teknologi Sumatera Ofyar Z Tamin menuturkan, pihaknya terus mengembangkan pusat riset yang dibutuhkan di Sumatera. Pusat riset itu antara lain mencakup tentang perkeretaapian, geospasial, dan manajemen kebencanaan.
Konferensi internasional itu menjadi ajang bagi para peneliti untuk bertukar gagasan terkait penelitian yang telah dilakukan. Hal itu terutama terkait riset tentang pemanfaatan teknologi ramah lingkungan.