Gempa yang melanda Pulau Ambon dan sekitarnya selama lebih dari satu bulan terakhir mematikan gairah ekonomi setempat. Selain hancurnya harta benda dan tempat usaha, sebagian warga juga masih dibayangi trauma.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Gempa yang melanda Pulau Ambon dan sekitarnya selama lebih dari satu bulan terakhir mematikan gairah ekonomi setempat. Selain hancurnya harta benda dan tempat usaha, sebagian warga masih dibayangi trauma sehingga mereka takut beraktivitas. Oleh karena itu, diperlukan stimulus untuk membangkitkan kembali gairah ekonomi setempat.
Gusti Rolobessy, sukarelawan bencana di Desa Tial, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Senin (28/10/2019), mengatakan, banyak kios dan tempat usaha milik warga di desa itu rusak akibat gempa bermagnitudo 6,5 pada 26 September 2019. Selama berada di pengungsian, mereka tidak berjualan. Modal dipakai habis untuk kebutuhan setiap hari. ”Jadi mereka tidak punya modal lagi,” katanya.
Selain pedagang, banyak nelayan juga belum melaut. Desa tersebut merupakan desa nelayan penyuplai tuna di Maluku. Selain kehabisan modal, gempa yang terus meneror membuat mereka takut akan terjadi bencana lebih besar. Desa Tial yang berhadapan langsung dengan Laut Banda itu pernah dilanda tsunami. Pengalaman traumatik itu belum bisa hilang dari benak warga.
Jadi, mereka tidak punya modal lagi.
Ekonomi desa yang sebagian besar ditopang faktor perdagangan dan perikanan kini lumpuh. Untuk itu, kata Gusti, perlu ada dukungan untuk menghidupkan kembali ekonomi desa. ”Kalau tidak, akan timbul persoalan di kemudian hari, seperti kriminal. Banyak pelaku ekonomi ingin bangkit, tetapi mereka tidak punya modal lagi. Mereka ini harus dibantu,” katanya.
Kondisi serupa juga dialami warga Desa Waai, sekitar 6 kilometer arah timur Tial. Ekonomi desa yang ditopang perdagangan dan perikanan itu juga lumpuh.
Warga Waai masih tinggal di dataran tinggi. Mereka meninggalkan kampung yang terkena dampak paling parah akibat gempa itu. Di Waai, 6 orang meninggal, 66 orang luka ringan, dan 8.210 jiwa mengungsi. Jumlah rumah rusak ringan 430 unit, rusak sedang 100 unit, dan rusak berat 119 unit.
Stefi Tapiaha, sukarelawan bencana di Waai, mengatakan, selain membangkitkan kembali sektor perdagangan dan perikanan, diperlukan juga pemberdayaan masyarakat dalam menyiapkan bangunan tahan gempa dari bahan lokal.
Ke depan, pembuatan rumah tahan gempa ini menjadi sumber penghidupan baru. Perlu dukungan dari pemerintah untuk hal ini.
Dia melihat sejumlah warga berinisiatif membuat rumbia untuk atap rumah. Rumbia merupakan daun sagu. Sagu banyak di daerah tersebut. Sekarang masyarakat mulai sadar membangun rumah yang tahan gempa karena banyak korban meninggal akibat tertimpa reruntuhan bangunan.
Masyarakat di lokasi bencana sekarang takut tinggal di rumah beton. Rumah dengan bahan alam itu mudah didapat. ”Ke depan, pembuatan rumah tahan gempa ini menjadi sumber penghidupan baru. Perlu dukungan dari pemerintah untuk hal ini,” kata Stefi.
Perikanan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo menawarkan dua bentuk usaha jangka pendek, yakni budidaya ikan hias dan pembuatan ikan asap.
Pengelolaan ikan hias dengan modal sekitar Rp 8 juta akan dibantu Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan ikan asap masih akan dibicarakan dengan pemerintah daerah. ”Potensi bahan bakunya banyak dan permintaan pasarnya juga tinggi. Ini peluang,” kata Doni.
Meski begitu, pihaknya tidak menutup kemungkinan jika ada masukan dari masyarakat terkait program pemberdayaan yang sesuai dengan kondisi ekonomi setempat.
Program pemberdayaan sosial ekonomi itu akan mempercepat pemulihan. Sementara untuk pembangunan dan perbaikan rumah penduduk yang rusak sepenuhnya menjadi tanggung jawab BNPB lewat pemberian dana stimulus.