Konferensi Tingkat Tinggi Negara Kepulauan 2019 menyepakati ekowisata sebagai tumpuan pertumbuhan ekonomi masa depan. Namun, mitigasi kerusakan lingkungan akibat kedatangan wisatawan perlu diantisipasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Konferensi Tingkat Tinggi Negara Kepulauan 2019 menyepakati ekowisata sebagai tumpuan pertumbuhan ekonomi masa depan. Namun, mitigasi kerusakan lingkungan akibat kedatangan wisatawan perlu diantisipasi.
Pertemuan tingkat menteri Archipelagic Islands Summit (AIS) 2019 digelar di Manado, Sulawesi Utara, mulai Rabu (30/10/2019). Forum yang digelar hingga Jumat (1/11) itu diikuti 23 negara kepulauan, antara lain Bahrain, Fiji, Komoro, Papua Niugini, Irlandia, Jamaika, Jepang, Filipina, Timor Leste, dan Tonga.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan dijadwalkan hadir pada hari kedua. Sementara Maladewa, Papua Niugini, Timor Leste, dan Guinea Bissau diwakili menteri yang membidangi pariwisata.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman Purbaya Sadewa mengatakan, forum AIS 2019 berfokus antara lain di bidang ekowisata, perubahan iklim, dan penanganan sampah plastik. Saat ini, negara-negara kepulauan menghadapi ancaman yang sama, terutama dalam pengembangan ekowisata.
“Pariwisata berkelanjutan sedang menjadi tren global. Kami menginginkan pariwisata tak mengganggu daya dukung lingkungan. Karena itu, negara-negara yang hadir di AIS akan menyatukan kekuatan dengan berbagi pengalaman bersama. Praktik yang baik bisa dibagikan dan digunakan di negara-negara lainnya,” kata Purbaya.
Jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi Indonesia terus naik dari 11,52 juta orang pada 2016 menjadi 14,04 juta pada 2017. Jumlahnya kembali meningkat menjadi 15,81 juta pada 2018. Tahun ini, jumlah itu ditargetkan meningkat lagi menjadi 17,5 juta wisatawan. Adapun devisa ditargetkan meningkat dari 19,2 juta dolar AS pada 2018 menjadi 20 juta dolar AS.
Untuk mendukung tujuan itu, kualitas wisata bahari ditingkatkan dengan berbagai revitalisasi lingkungan. “Pemerintah menanam hutan-hutan bakau dan menghidupkan kembali koral-koral di laut. Itu juga untuk mencegah abrasi,” ujar Purbaya.
Pariwisata juga menjadi tumpuan pembangunan ekonomi bagi Maladewa. Menteri Pariwisata Maladewa, Ahmed Solih, mengatakan, rakyat bisa merasakan dampaknya secara langsung, terutama dalam bentuk ekowisata. “Dibandingkan negara lain, infrastruktur kami tidak berkembang. Aset terbesar kami adalah keindahan alam,” katanya.
Negara yang terdiri dari sekitar 1.200 pulau ini sangat diminati wisatawan mancanegara kelas atas karena keindahan baharinya. Solih mengatakan, jumlah wisman ke Maladewa mencapai 1,5 juta orang pada 2018. Padahal, jumlah populasi negara itu hanya sekitar 436.000 pada 2017.
“Tapi, kami tidak mau mengabaikan kelestarian lingkungan kami demi dolar. Sekarang, kami hanya memiliki sekitar 200 resort di 200 pulau. Hanya 30 persen dari luas wilayah pulau yang kami izinkan untuk dibangun. Sisanya, harus tetap dikonservasi dengan melibatkan masyarakat,” kata Solih.
Solih mengatakan, Maladewa merencanakan pariwisata dengan hati-hati. Pembangunan resort diawali dengan studi dampak lingkungan, diikuti pemberian proposal para investor. Syarat yang ditetapkan bagi investor juga cukup berat.
“Setiap resort harus punya insinerator untuk mengolah sampah. Limbah air tidak dibuang ke laut, melainkan diarahkan ke sistem irigasi. Setiap resort juga harus bisa membuat air bersih sendiri dengan mengonversi air laut. Wajar kalau biaya wisata sangat mahal, karena kami benar-benar melindungi alam kami,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Pariwisata dan Kerajinan Komoros, Chamina Ben Mohamed, mengatakan, pariwisata di negaranya juga direncanakan dengan hati-hati. Salah satu terobosan yang dibuat adalah membangun Parc de Marin atau Taman Maritim. Di taman itu, Pemerintah Komoros melaksanakan program proteksi lahan gambut dan mencegah penebangan pohon.
Ia menambahkan, keunggulan pariwisata Komoros terletak pada keindahan bawah laut serta satwa-satwa endemik bawah air. Untuk menjaganya, wisata air dibuka terbatas. “Visi untuk 2030, kami bisa mendatangkan 250.000 turis yang tetap bisa menghargai keindahan alam kami. Masa depan kita adalah ekowisata,” kata Ben Mohamed.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sulawesi Utara Steven Kandouw mengatakan, pariwisata juga menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Sulut. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah wisatawan tumbuh 500 persen menjadi sekitar 120.000 orang. Mereka didominasi turis asal China.
Menurut Steven, pemerintah Sulut masih mengutamakan peningkatan kunjungan. Kedatangan wisman yang baru 120.000 dalam setahun masih di bawah Maladewa, sekitar 4.000 orang sehari. “Belum waktunya kami membatasi kedatangan wisatawan karena kami ingin meningkatkan pendapatan asli daerah. Kalau sudah jadi overtourism, baru kami pilah-pilah wisatawan mana yang boleh datang,” katanya.
Namun, ia menyatakan komitmen untuk mengimbangi pengembangan pariwisata dengan pelestarian lingkungan. Ia mengatakan, pemprov Sulut sudah memiliki peraturan daerah terkait zonasi pembangunan infrastruktur. “Area-area yang boleh dibangun sudah jelas, termasuk untuk pembangunan kawasan ekonomi khusus pariwisata di Likupang,” katanya.