CIREBON, KOMPAS — Masa tanam padi di Kabupaten Cirebon dan Indramayu di Jawa Barat dipastikan bergeser. Penyusutan volume air Waduk Jatigede menyebabkan pasokan air ke sentra padi nasional itu terlambat. Kondisi ini bisa memicu kenaikan harga pangan dan kekeringan pada musim tanam kedua.
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, volume air di Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, pada Jumat (1/11/2019) siang tercatat 268,5 juta meter kubik. Jumlah ini hanya 27,38 persen dari volume yang seharusnya, yakni 980,7 juta meter kubik.
Pasokan Jatigede ke saluran irigasi pun hanya 2,01 meter kubik per detik. Biasanya, debit waduk untuk lahan pertanian berkisar 70-80 meter kubik per detik. Adapun debit air yang masuk ke Jatigede hanya sekitar 2 meter kubik per detik. Saat musim hujan, debit yang masuk bisa 400-600 meter kubik per detik.
Jatigede selama ini menjadi sumber air untuk 87.313 hektar lahan pertanian di Majalengka, Indramayu, dan Cirebon. Air disalurkan melalui Bendung Rentang di Majalengka menuju dua saluran induk (SI), yakni SI Cipelang dan SI Sindupraja.
SI Sindupraja menyalurkan air dengan kapasitas maksimal 35 meter kubik per detik, antara lain ke timur Indramayu dan utara Cirebon. Sementara SI Cipelang, antara lain, mengairi wilayah barat Indramayu, seperti Losarang dan Kandanghaur, dengan debit 25 meter kubik per detik.
Dengan penyusutan volume air di Jatigede, air pun tidak sampai ke sawah petani. ”Kami sudah rapat dengan berbagai pihak, termasuk petani, terkait hal ini. Air tidak bisa disalurkan karena kami harus menjaga batas minimal volume waduk. Kalau tidak, waduk tidak bisa beroperasi dengan baik,” kata Kepala Bidang Operasi Pengelolaan Sumber Daya Air BBWS Cimanuk-Cisanggarung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Abdul Ghoni Majdi.
Ghoni mengakui, biasanya, petani sudah bisa menanam padi bulan Oktober. Namun, hujan belum turun. Kalaupun ada, intensitasnya kecil. Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kertajati, hujan di Cirebon dan Indramayu diprediksi berlangsung pertengahan hingga akhir November.
Sebagian besar lahan di Cirebon dan Indramayu saat ini belum diolah untuk musim tanam rendeng Oktober 2019-Maret 2020. Jerami sisa panen masih tersimpan di sawah. Bahkan, ada beberapa daerah yang masih panen, seperti di bagian utara Cirebon dan Indramayu timur.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, luas tanam padi bulan Oktober baru sekitar 650 hektar. Ini hanya 1,5 persen dari lahan baku di Cirebon, yakni 45.000 hektar.
”Petani ingin menanam lagi, tetapi enggak ada air. Paling terlambat tanam bulan Januari tahun depan. Akibatnya, harga pangan akan naik karena pasokan padi berkurang. Ini bagus untuk petani, tetapi orang dinas pertanian enggak mau harga naik,” ungkap Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Cirebon Kuryadi.
Saat ini harga gabah kering giling (GKG) di Cirebon berkisar Rp 5.600-Rp 6.000 per kilogram. Sementara di Indramayu sekitar Rp 6.000 per kg untuk GKG. Adapun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani di daerah tersebut sudah lebih dari Rp 5.000 per kg.
Harga ini jauh di atas Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Sesuai Inpres itu, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk GKP adalah Rp 3.700 per kg, sedangkan untuk GKG Rp 4.600 per kg.