Mitos Buat Warga Sulit Hentikan Kebiasaan Buang Sampah ke Sungai
Mitos yang keliru ikut memicu sulitnya menghentikan kebiasaan sebagian masyarakat di Solo, Jawa Tengah, membuang sampah ke sungai. Selain langkah hukum, perlu pendekatan sosial dan budaya untuk meminimalkan hal ini.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·2 menit baca
SOLO, KOMPAS – Mitos yang keliru ikut memicu sulitnya menghentikan kebiasaan sebagian masyarakat di Solo, Jawa Tengah, membuang sampah ke sungai. Selain langkah hukum, perlu pendekatan sosial dan budaya untuk meminimalkan hal ini terus terjadi.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Publik bertema "Sungai Kita Warisan Berharga yang Harus Dijaga" di Solo, Jawa Tengah, Minggu (3/11/2019). Hadir sebagai narasumber adalah aktivis Pekarya Sungai Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo yang juga Ketua Siaga Bencana Berbasis Masyarakat Sewu Sri Mahanani Budi Utomo, Wakil Ketua DPRD Solo Sugeng Riyanto, dan penggagas Korps Relawan Peduli Sungai Solo Raya Sabar Gorky.
Budi mengatakan, kesadaran sebagian masyarakat Solo membuang sampah pada tempatnya masih rendah. Mereka terbiasa melempar berbagai sampah domestik ke sungai.
Dari berbagai kegiatan bersih-bersih sungai di Solo, ditemukan beragam sampah domestik yang terbungkus plastik, antara lain di Kali Anyar, Sungai Kebo, Sungai Pepe, dan Sungai Bengawan Solo. Banyak sampah yang dibuang itu merupakan popok bayi sekali pakai. Bahkan, sempat ditemukan juga bantal hingga kasur.
"Masyarakat membuang popok ke sungai karena masih percaya dengan mitos,” katanya.
Budi mencontohkan mitos membuang popok bayi. Ada kepercayaan, popok harus dibuang dalam kondisi basah. Popok juga tidak boleh dibakar karena dikhawatirkan bayi akan gatal-gatal.
Ada juga mitos membuang barang-barang ke sungai untuk membuang sial. Kasur dan bantal orang yang baru saja meninggal, kerap dibuang begitu saja ke sungai.
“Perlu ada pendekatan secara budaya. Penyadaran masyarakat itu harus melalui tokoh-tokoh budaya dan agama. Tidak bisa hanya kami dari aktivis lingkungan. Mereka harus diubah pola pikirnya,” ujarnya.
Perlu ada pendekatan secara budaya. Penyadaran masyarakat itu harus melalui tokoh-tokoh budaya dan agama. Tidak bisa hanya kami dari aktivis lingkungan. Mereka harus diubah pola pikirnya
Akan tetapi, ketegasan Pemerintah Kota Solo juga dibutuhkan, terutama saat menjatuhkan sanksi pada pembuang sampah sembarangan. Dari sisi regulasi, Solo sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah. Pembuang sampah sembarangan diancam denda maksimal Rp 50 juta atau kurungan penjara maksimal selama tiga bulan.
“Perda itu telah memberikan ruang kepada Pemkot untuk menindak tegas pembuang sampah sembarangan. Pembuang sampah harus diberi efek jera,” katanya.