Bagi kaum milenial, menonton pertunjukan seni teater tradisional mungkin kurang menarik. Bahasa lokal, cerita ketinggalan jaman, hingga pertunjukan semalam suntuk, melengkapi nasib muram teater tradisional.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·4 menit baca
Bagi kaum milenial, menonton pertunjukan seni teater tradisional mungkin kurang menarik. Bahasa lokal yang kurang bisa dipahami, cerita yang ketinggalan jaman, hingga pertunjukan semalam suntuk, melengkapi nasib muram teater tradisional ditinggal penontonnya.
“Itulah persoalan yang membelit teater tradisional, termasuk di NTB. Oleh karena itu, kami mengemas cerita dengan konteks kekinian,” ujar Agus Wintarno, seniman NTB, Sabtu (26/10/2019) malam. Ia mengatakannya, usai pertunjukan teater bertajuk "Akal-Akalan Cupak", yang diangkat dari lakon Teater Tradisi Sasak Cupak-Gerantang, di Teater Tertutup Taman Budaya NTB.
Menurut Kongso Sukoco, Pemerhati Sastra di Mataram, seperti seni teater tradisional umumnya, seni teater Cupak-Gerantang di masa lalu menjadi hiburan bagi masyarakat di Lombok. Seni ini dihadirkan ketika ada hajatan, khitanan dan perkawinan, sebagai hiburan warga Lombok yang umumnya sebagai petani. Pertunjukannya selama suntuk, melibatkan awak yang banyak, mengikuti pakem cerita yang ketat, hingga pemain menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa pengantar.
Sejalan gaya hidup masyarakat yang berubah cepat, konsep seni teater perlu mengikuti perkembangan zaman. Misalnya, lama pertunjukkan dipersingkat, bahasa yang digunakan harus kekinian, hingga mengungkap kondisi sosial dan politik teranyar.
"Ini bisa dilakukan Cupak-Gerantang yang memiliki kekhasan. Seperti sosok Gerantang, misalnya, saat berkomunikasi dengan Cupak, dia menggunakan nyanyian," kata Kongso.
Cupak-Gerantang adalah dua kaka beradik berbeda perangai. Cupak yang diperankan Novrizal Hamza, berperawakan tambun, tinggi besar, berwajah seram, tutur katanya kasar, memiliki sifat dengki, dan iri hati. Sedang Gerantang (Syahrul Mubarrak) berperawakan tegap, berwajah tampan, gagah, jujur, tutur katanya halus, sopan, dan bersifat pemaaf.
Keduanya mengikuti sayembara yang digelar Raja Daha (Asta Tabibuddin) di Kerajaan Daha, yang putrinya Denda Puspasari (Neneng Asmawati) diculik dan dibawa ke goa tempat tinggal raksasa Danawa. Bagi yang bisa membebaskan sang putri dari cengkeraman Danawa, selain akan dinikahkan dengan putrinya sekaligus dinobatkan sebagai raja.
Bila kerajaan dikuasai orang semacam Cupak yang serakah dan tidak manusiawi, kekayaan yang mestinya untuk rakyat dicuri dan dibagikan kepada kroni-kroninya
Dalam perjalanan di hutan belantara, terlihat karakter Cupak-Gerantang. Ketika Gerantang tengah mencari air minum, Cupak menyantap habis bekal makanan. Cupak berkelit, makanan itu dimakan anjing meski Gerantang melihat butiran nasi mempel di kumis Cupak.
Juga saat melihat bekas tapak kaki Danawa di tanah, Cupak ketakukan, “Kakinya saja begini besarnya, bayangkan saja sebagaimana besar badan Danawa,” katanya. Nyali Cupak semakin kerdil ketika mendengar suara Danawa. Namun, Gerantang memberi semangat pada Cupak.
Singkat cerita, Gerantang pun berhasil menaklukkan Danawa, lalu mengangkat sang putri dari sumur dalam di gua itu. Namun, ketika sang putri keluar dari mulut, Cupak pun menimbun mulut gua dengan batu, menjadikan Gerantang terkurung dalam gua.
Cupak pun mengantar putri ke Istana, sembari membawa kepala Danawa sebagai bukti dirinya mampu membunuhnya. Raja pun menggelar pesta dan hiburan di antaranya lomba peresean (permainan baku bukul dengan rotan dan tiap pemain memegang ende/perisai untuk menangkis pukulan).
Di arena pertandingan itu, Inak Bangkol (Irma Septiana) tiba-tiba datang menyerahkan selembar kain selendang kepada Raja. Selendang itu digunakan putri bersama Gerantang ketika memanjat tebing gua. Itu jadi bukti bahwa Gerantang yang membebaskan putri raja. Untuk mendapatkan keputusan akhir, Raja minta Cupak-Gerantang adu keterampilan bermain peresean. Gerantang keluar sebagai pemenang.
Dalam pagelaran seni teater yang berlangsung sekitar 30 menit itu, Agus berinovasi menggarap naskah dengen mendekatkan pertunjukan dalam perspetif kekinian.
Caranya, menggunakan bahasa Indonesia (bukan bahasa Sasak seperti teater tradisional Cupak-Gerantang) sebagai bahasa pengantar, irit pemain yang berjumlah 11 orang yang merangkap sebagai penabuh gamelan, hingga menggunakan gitar sebagai salah satu instrument musik. Selain itu, ada juga sajian satir dan humor bertema kondisi sosial politik nasional teranyar.
“Bila kerajaan dikuasai orang semacam Cupak yang serakah dan tidak manusiawi, kekayaan yang mestinya untuk rakyat dicuri dan dibagikan kepada kroni-kroninya,” begitu potongan salah satu dialog mengingatkan perilaku korup yang marak terungkap belakangan ini.
Teater tradisonal perlu mendekatkan pertunjukkan dengan khalayak penonton dengan mengemas lakon dari unsur kekinian, tanpa menghilangkan misi yang disampaikan. Dengan mengikuti perkembangan zaman dan di tengah minimnya regenerasi teater tradisional, semuanya bisa jadi daya tarik menarik bagi generasi muda.