Teladan Semangat Sardjito Bekal bagi Anak Muda Penerus Bangsa
Rektor pertama Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Dr M Sardjito dianugerahi gelar pahlawan nasional. Semangat memperjuangkan kemerdekaan lewat kepakarannya diharapkan menjadi teladan bagi generasi muda.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Rektor pertama Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Dr M Sardjito dianugerahi gelar pahlawan nasional, Jumat (8/11/2019). Semangat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa lewat kepakarannya diharapkan menjadi teladan bagi generasi muda.
Hal tersebut disampaikan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono seusai upacara Hari Pahlawan dan syukuran penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Sardjito di Balairung UGM, Yogyakarta, Senin (11/11/2019).
”Beliau (Sardjito) yang hidup di masa masih sulit saja memiliki semangat dan ketulusan untuk berjuang memperbaiki kondisi Indonesia melalui kepakarannya. Kita sebagai penerusnya harus menjadi pahlawan masa kini,” kata Panut.
Sardjito adalah seorang dokter. Jasanya di bidang kesehatan berupa penemuan obat penyakit batu ginjal dan penurun kolesterol. Sardjito juga berhasil menciptakan vaksin penangkal penyakit, seperti tifus, kolera, dan disentri.
Tidak berhenti pada itu saja, Sardjito turut membantu pemuda mempertahankan kemerdekaan. Ia menciptakan ransum yang dinamai Biskuit Sardjito. Makanan itu merupakan bekal para tentara pelajar di medan perang.
Panut menyatakan, pahlawan masa kini itu tidak lagi harus angkat senjata. Ada konteks yang berbeda dengan zaman perjuangan kemerdekaan. Saat ini, pahlawan adalah mereka yang berjuang sekuat tenaga agar bisa berkontribusi terhadap masyarakat. Arah yang dituju saat ini berupa kesejahteraan bangsa.
”Kontribusi kita masing-masing itu ukurannya berbeda. Saat ini, kita kerja baik, menghasilkan hal-hal yang bisa kita buat, itu sudah sangat bagus,” kata Panut.
Panut juga menyoroti soal perekonomian yang belum mandiri. Upaya menciptakan kemandirian ekonomi juga merupakan bentuk perjuangan masa kini. Banyak negara berusaha memasuki negara ini untuk mengambil untung. Ekspor yang lebih rendah daripada impor menjadi bukti masyarakat belum sepenuhnya mandiri.
Paling tidak, kita harus bisa menghasilkan barang-barang atau produk-produk untuk mengurangi impor. Mencari substitusi dari impor. Syukur-syukur punya produk yang bisa diekspor. Perjuangan sekarang berbeda dengan zaman dahulu.
”Paling tidak, kita harus bisa menghasilkan barang-barang atau produk-produk untuk mengurangi impor. Mencari substitusi dari impor. Syukur-syukur punya produk yang bisa diekspor. Perjuangan sekarang berbeda dengan zaman dahulu,” kata Panut.
Budi Santoso, perwakilan keluarga Sardjito, bahagia dengan gelar pahlawan nasional itu. Ia menceritakan, Sardjito mengajarkan kepada keluarganya untuk berusaha memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara.
”Beliau meninggalkan moto kehidupan bagi kami dengan memberi kami akan ’kaya’. Itu ditularkan kepada anak-anak. Memberi tidak harus berupa uang. Memberi bisa ilmu, nasihat, dan motivasi,” kata Budi.
Djoko Suryo, Guru Besar Sejarah UGM, merupakan salah satu tim pengusul agar Sardjito mendapat gelar pahlawan nasional. Perjuangan untuk mendapatkannya terbilang panjang, sejak tahun 2012. Namun, waktu itu, gelar pahlawan nasional diberikan terlebih dahulu kepada Soekarno dan Mohammad Hatta oleh presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
”Pengusulan ini kami lakukan dengan berbagai penelitian. Tidak hanya di dalam, tetapi juga luar negeri. Kami juga membuat buku biografi, buku akademis yang ilmiah, yang diseminarkan melalui jenjang yang bersifat lokal, regional, hingga nasional,” kata Djoko.