Museum Tari Hyang Dedari Perkuat Kearifan Lokal Bali
Masyarakat Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali, dan Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia berkolaborasi membangun Museum Tari Hyang Dedari.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
KARANGASEM, KOMPAS — Masyarakat Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali, dan Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia berkolaborasi membangun Museum Tari Hyang Dedari. Kolaborasi pembangunan museum ini adalah bagian dari spirit mempertahankan budaya dan tradisi ritual tarian panen padi.
Pada Selasa (12/11/2019), museum itu diresmikan dengan menggelar upacara adat Rsi Gana. Tari Sang Hyang Dedari merupakan tarian sakral yang telah ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia.
Saat ini, Desa Adat Geriana Kauh menjadi satu-satunya desa di Bali yang secara konsisten menjalankan praktik ritual tari Sang Hyang Dedari. Tarian ini melibatkan anak-anak perempuan berusia rata-rata 8 tahun sebagai penari. Lalu, terdapat pula komunitas penyanyi gending dan masyarakat desa mempersiapkan ritual persembahan lainnya.
Museum itu dibangun di atas tanah milik desa adat setempat. Luas bangunan sekitar 100 meter persegi. Pembangunan dilakukan bertahap mulai tahun 2015 dan sempat tertunda karena erupsi Gunung Agung pada 2017. Jarak museum dengan Gunung Agung kurang dari 10 kilometer.
Dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Saraswati Putri, mengatakan, upaya pelestarian ini sejalan dengan kepentingan kampus dalam pengabdian kepada masyarakat. Tarian ini penting sebagai cikal bakal mengembalikan lestarinya budaya sakral yang memiliki makna dalam pelestarian ekologinya.
”Kami khawatir tari Sang Hyang Dedari akan terancam punah. Di sini, semuanya dikembalikan seperti tradisinya. Kami berupaya merekonstruksinya dengan mencari lontar gending dedari ini hingga ke Leiden, Belanda,” kata Saraswati.
Museum ini, lanjut Saras, masih akan terus berkembang. Ia bersama masyarakat akan mengejawantahkan isi museum ini kembali kepada kebiasaan pertanian warga setempat, seperti menanam padi organik di seluruh subaknya.
”Masyarakat pun menyadari beberapa kali adanya kegagalan panen dan wabah hama diduga karena kurang menjaga kelestarian alam,” kata Saraswati.
Saat meneliti tarian ini, Saras bekerja sama membangun masyarakat bersama dosen Arkeologi FIB UI, Dr Ali Akbar, S.S., M.Hum. Selanjutnya, upaya pelestarian ini didukung Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (RPM) UI.
Pelaksana Harian Direktur RPM UI Dede Djuhana menegaskan, pihaknya mendukung masyarakat setempat mencegah punahnya tradisi ritual tarian panen di wilayah Bali. Harapannya, pendirian museum berbasis komunitas ini menjadi wadah dokumentasi serta pelestarian tari Sang Hyang Dedari, lontar, dan kebudayaan lain.
Tidak sebatas membangun dan mengisi museum, Tim Pengabdian Masyarakat FIB UI akan turut meningkatkan kemampuan masyarakat, salah satunya dengan melakukan edukasi tentang pengelolaan museum. Selain itu, warga juga akan mendapat pengetahuan mitigasi bencana. Pengetahuan ini menjadi sangat krusial mengingat Desa Adat Geriana Kauh berlokasi di kawasan rawan bencana, khususnya ancaman lahar serta awan panas letusan Gunung Agung.
Bendesa Adat Geriana Kauh Nyoman Subrata mengapresiasi Tim Pengabdian Masyarakat FIPB UI yang membantu rekonstruksi seluruh proses tari Sang Hyang Dedari ini. Ia berharap upaya ini berkelanjutan sehingga kelestarian alamnya pun terwujud dengan mimpi menjadikan padi di desa tersebut organik. Saat ini, area sawah yang menuju organik direncanakan sekitar 50 hektar.