Petani Jateng Keluhkan Sulitnya Akses Permodalan dan Pemasaran
Sebagian petani di Jawa Tengah masih mengeluhkan kesulitan mengakses permodalan dan memasarkan produk. Mereka berharap Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membantu petani mendapatkan akses permodalan dan pemasaran.
Oleh
KRISTI UTAMI
·2 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Sebagian petani di Jawa Tengah masih mengeluhkan kesulitan mengakses permodalan dan memasarkan produknya. Mereka berharap Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membantu petani mendapatkan akses permodalan dan pelatihan pemasaran produk.
Hal itu dikemukakan petani kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Selasa (12/11/2019) petang, dalam pembukaan Pekan Daerah Petani dan Nelayan Jateng, di Taman Teknologi Pertanian, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal. Dalam kegiatan tersebut, para petani diberi kesempatan berdialog langsung dengan Ganjar.
Khoiron, petani Kabupaten Pekalongan, mengatakan kesulitan mengakses permodalan. Dirinya kerap tidak balik modal karena gagal panen sehingga tidak punya biaya untuk masa tanam berikutnya. Untuk sawah berukuran setengah hektar, Khoiron menghabiskan biaya tanam sebesar Rp 9 juta.
”Karena air di sekitar sawah tercemar limbah, saya sering kali gagal panen. Kalau sekali gagal panen, saya tidak bisa tanam lagi karena tidak ada modal,” ucap Khoiron.
Petani asal Magelang, Srini, menuturkan, selain kesulitan mengakses modal, dia terkendala pemasaran produk. Kelengkeng kristal miliknya hanya dipasarkan di Kabupaten Magelang. Srini berharap produknya bisa dijual secara daring.
”Saya ingin supaya produk saya bisa dijual secara daring sehingga jangkauan pasarnya bisa lebih luas. Permasalahannya, saya tidak tahu bagaimana caranya supaya produk saya bisa dijual secara daring,” tutur Srini.
Belum sampai
Ganjar mengatakan, hampir semua fasilitas, termasuk akses permodalan dan akses peningkatan kapasitas petani, sebenarnya sudah ada. Namun, hingga saat ini, beberapa akses itu belum sampai kepada petani.
”Jateng punya akses permodalan dan peningkatan kapasitas petani yang terdiri dari pengenalan teknologi, pelatihan pemasaran, pelatihan pengemasan, dan pelatihan penataan kelembagaan pertanian. Sekarang, kami sedang mengupayakan petani bisa mengakses fasilitas-fasilitas itu,” kata Ganjar.
Menurut Ganjar, petani Indonesia selalu menempati posisi yang rawan dalam hal kesejahteraan. Mayoritas adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari setengah hektar. Hal itu terlihat dalam hasil survei pertanian pada 2018. Jumlah petani gurem meningkat 10,95 persen dari 14.248.864 jiwa pada 2013 menjadi 15.809.398 jiwa pada 2018.
Ganjar mengungkapkan, pihaknya menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Jateng. Regulasi tersebut bertujuan mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani-peternak, menyediakan prasarana dan sarana pertanian, memberikan kepastian usaha tani, melindungi petani dari praktik ekonomi biaya tinggi dan gagal panen, serta meningkatkan kapasitas petani.
”Ke depan, kami akan melindungi petani miskin dengan memberikan asuransi pertanian dari potensi gagal panen ataupun akibat musibah bencana alam. Kami juga meluncurkan kartu tani sebagai salah satu solusi untuk mengatasi keruwetan pemasaran pupuk,” kata Ganjar menambahkan.