Akademisi didorong membangun riset kolaboratif untuk mengupas akar dan solusi masalah kebakaran hutan dan lahan. Kajian yang telah ada agar dilanjutkan dan dikawal implementasinya di lapangan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·2 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Akademisi didorong membangun riset kolaboratif untuk mengupas akar dan solusi masalah kebakaran hutan dan lahan. Kajian yang telah ada agar dilanjutkan dan dikawal implementasinya di lapangan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi Helmy mengatakan sudah ada hasil riset mengenai sebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kajian yang telah ada itu akan dimanfaatkan. ”Kampus harus dapat mengawal daerah keluar dari ancaman karhutla berulang,” katanya, Jumat (15/11/2019).
Universitas Jambi (Unja) pun didorong menjadi penggerak. Salah satunya lewat pembangunan Pusat Studi ASEAN yang telah dilakukan pada Kamis, 14 November. Lewat pusat studi itu, akan dihasilkan terobosan dan kolaborasi.
Direktur Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN Kementerian Luar Negeri Riaz Januar Putra Saehu mengatakan, kebakaran hutan dan lahan yang berulang telah menimbulkan trauma bagi masyarakat, sekaligus mengganggu hubungan dengan negara-negara tetangga. Sepanjang kebakaran tahun ini, terdeteksi sebaran kabut asap dari Indonesia ke Singapura dan Malaysia selama 19 hari.
Pihaknya mengapresiasi inisiatif Fakultas Hukum Unja yang serius menekuni kajian-kajian hukum lingkungan, salah satunya ditindaklanjuti dengan membangun Pusat Studi ASEAN. Hal itu akan sejalan dengan komitmen kampus berkontribusi menghentikan karhutla.
Kebakaran hutan dan lahan yang berulang telah menimbulkan trauma bagi masyarakat, sekaligus mengganggu hubungan dengan negara-negara tetangga.
Dekan Fakultas Kehutanan Unja Bambang Irawan mengatakan, sejak kabut asap 2015, pihaknya telah membuat analisis dan menawarkan solusi. Hasilnya pun telah disampaikan kepada pemerintah daerah agar dijadikan pijakan kebijakan. Namun, hal itu tidak pernah dilakukan hingga sekarang sehingga karhutla terus berulang.
Untuk keluar dari persoalan karhutla, pemerintah daerah perlu serius, mulai dari memberdayakan petani keluar dari praktik bakar lahan hingga penindakan serius terhadap korporasi yang lahannya mengalami kebakaran. ”Pendekatannya haruslah pada pencegahan dan pemberdayaan, bukan terpaku pada penanggulangan,” ujarnya.
Di tempat berbeda, Direktur Walhi Jambi Rudiansyah menyebut kebakaran hutan dan lahan di Jambi pada 2019 mencapai 165.000 hektar. Jumlah itu jauh melampaui data Pemerintah Provinsi Jambi yang menyebutkan luas areal terbakar 11.732 hektar.
Menurut Rudi, kebakaran paling luas merambat pada areal bergambut, yakni 114.900 hektar, sedangkan kebakaran pada lahan mineral 50.286 hektar. Sejauh ini, lanjutnya, upaya pemulihan gambut terbakar belum maksimal sehingga masih berpotensi besar untuk kembali terbakar.