Sejuta Bunga demi ”Tuin van Java”
Di era kolonial, Kota Magelang, Jawa Tengah, dijuluki ”Tuin van Java” alias taman indah berapit gunung dan bukit. Menjaga spirit keindahan itu, taman-taman bunga direka lagi di sudut-sudut kota.
Ratusan tanaman anggrek bermekaran di sepanjang jalan Kampung Jambon Gesikan, Kelurahan Cacaban, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang. Di sekitarnya terpasang tiga kamera pemantau. Ini menjadi salah satu cara warga untuk menjaga tanaman itu.
”Selain karena anggrek cukup mahal, kami ingin mempertahankan anggrek mempercantik kampung,” ujar Tri Yanto, sukarelawan persampahan dan lingkungan di RW 004, Kelurahan Cacaban, Selasa (12/11/2019).
Selain ditanam di sepanjang jalan kampung, berbagai anggrek dan tanaman hias lainnya juga banyak ditemukan di halaman rumah warga. Hal ini karena sebagian warga Kampung Jambon Gesikan sudah membudidayakan anggrek di pekarangan rumah mereka sejak 2012. Tri berkisah, sejak puluhan tahun silam, warga sebenarnya gemar menanam beraneka tanaman hias. Ada taman kecil segitiga di jalan kampung yang dibangun tahun 1988.
Semangat memperindah Kota Magelang itu terus tumbuh. Mereka memanfaatkan setiap lahan kosong dengan tanaman. Munadi (48), warga RW 001 Tidar Campur, Kelurahan Tidar Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, misalnya, sejak 2018 menanami lagi lahan miliknya seluas 1.890 meter persegi dengan tanaman hias setelah sebelumnya selama 15 tahun mangkrak.
Lahan itu menarik perhatian tim Universitas Muhammadiyah Magelang yang ingin menjadikannya kebun bibit anggrek. Meski mendapat pendampingan dan dana pengembangan, Munadi memperbanyak secara swadaya. Selain menyegarkan suasana, penanaman bunga juga berdampak ekonomi.
Salah satunya bagi Kelompok Sekar Sari di Kelurahan Kedungsari, Magelang Utara, yang mengembangkan tanaman hias sejak 2015. Lima belas perempuan di kelompok itu rutin mengirim bibit dan aneka tanaman hias ke kios yang ada di Kebun Bibit Senopati milik Pemerintah Kota Magelang.
”Dari menjual bibit, saya dapat tambahan lebih dari Rp 1 juta per bulan,” ujar Wijaya Bodro Wardani, anggota Kelompok Sekar Sari. Setiap minggu ia menjual 15-20 tanaman hias seharga Rp 10.000-Rp 100.000 per pot.
Kota Sejuta Bunga
Kepala Seksi Pengelolaan dan Penerangan Jalan Umum dan Pertamanan Dinas Lingkungan Hidup Kota Magelang Teguh Ariyanto mengatakan, menanam bagian dari program mewujudkan citra Kota Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2014.
Penerapan konsep Kota Sejuta Bunga ini antara lain diwujudkan dengan terus menambah jumlah taman kota dan spot bunga di setiap tepi dan pembatas jalan. Peremajaan tanaman juga terus dilakukan secara berkala. ”Kami ingin pastikan tak ada tanaman layu dan buruk di jalanan,” ujarnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Magelang Joko Soeparno mengatakan, demi memperkuat citra Kota Sejuta Bunga, pada 2020 pemkot akan memulai perbaikan konsep taman. Nantinya, di setiap pintu masuk kota akan dibangun taman bunga dengan jenis dan warna spesifik.
Menurut Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang Bagus Priyana, keindahan Kota Magelang dikenal sejak era kolonial. Warga Belanda dan negara Eropa lain yang berkunjung dan tinggal di Magelang menjuluki daerah itu dengan sejumlah nama.
Burgesmeester atau Wali Kota Stadgemeente Magelang Ir Nessel Van Lissa pada 1936 menerbitkan buku De Bergstad van Midden-Java Middelpunt van de Tuin van Java, dan di dalamnya menyebut Kota Magelang sebagai ”Tuin van Java” atau tamannya Pulau Jawa.
Tahun 1920 ada juga artikel berbahasa Belanda berjudul In En Om Magelang, yang menyebut julukan Kota Magelang sebagai ”Paradijs van Java” atau surganya Pulau Jawa. Ditulis, Magelang ada di wilayah pegunungan dan di lembah indah serta menyenangkan.
Mengutip sejumlah tulisan sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), menurut Bagus, periode 1920-1942 ada 4.189 warga Eropa yang bermukim di Magelang. Selain Belanda, ada dari Belgia dan Jerman. Mereka punya kebiasaan menanam bunga dalam pot-pot besar. Perilaku inilah yang dimungkinkan menular dan akhirnya ditiru warga lokal.
Bondan Eri Christanto, mahasiswa Fakultas Sastra UGM, dalam skripsinya tahun 1998 juga menulis, Pemerintah Kotapraja Magelang pada era kolonial menata kota Magelang begitu bersih, rapi, dan dipenuhi aneka bunga dan taman. Taman yang bertahan hingga kini adalah Taman Badaan.
Taman ini dulu tempat warga Eropa bersantai, berkumpul untuk menikmati matahari pagi atau sore sembari minum teh. Martha Gosal (91), warga Magelang Tengah, mengenang, tahun 1940-an Taman Badaan masih jadi tempat favorit warga. Di sana bisa dilihat Gunung Sumbing, Pegunungan Giyanti, dan Kali Progo.
Suasana kota yang teduh dan indah dengan jutaan bunga ini melekat erat di ingatan, seperti Martha. Virus memperindah lingkungan dijaga terus menular, mengembalikan kemolekan Kota Magelang.