Badan Geologi Luncurkan ”Atlas Batu Lempung dan Tanah Lunak Bermasalah”
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan ”Atlas Sebaran Tanah Lunak dan Batu Lempung Bermasalah”. Lewat atlas tersebut diharapkan ada peningkatan kesiapsiagaan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM meluncurkan Atlas Sebaran Tanah Lunak dan Batu Lempung Bermasalah. Lewat atlas tersebut diharapkan terjadi peningkatan kesiapsiagaan adaptasi potensi bencana.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar, di sela bincang ”Kesiapsiagaan Masyarakat Pantura Jateng Menghadapi Amblesan Tanah” di Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (20/11/2019), mengatakan, masyarakat perlu mengetahui ketersebaran batu lempung dan tanah lunak.
”Tanah lunak dan batu lempung itu dinamis. Ini perlu diinformasikan karena ketika musim kemarau atau kering, kondisinya mengerut, tetapi saat musim hujan mengembang. Pada saat mengembang inilah terjadi longsor di lereng-lereng atau terjadi gelombang, seperti di jalan,” kata Rudy.
Dengan peta batu lempung dan tanah lunak di 34 provonsi itu, lanjut Rudy, diharapkan ada peningkatan kesiapsiagaan, dari pemerintah daerah maupun masyarakat. Dengan demikian, dalam menghadapi batu lempung yang mengembang, akan ada tindakan tepat. Termasuk juga dalam pemotongan lereng.
Batu lempung bermasalah merupakan batu lempung berumur tersier dan terendapkan di lingkungan laut. Batu lempung ini memiliki sifat kembang-susut yang berpotensi merusak infrastruktur. Di Jateng, hal itu antara lain ada di sebagian wilayah Kabupaten Brebes, Cilacap, Pemalang, dan Grobogan.
Adapun tanah lunak umumnya menempati dataran pasang surut, dataran aluvial sungai, dataran banjir, dan dataran rawa dengan kemiringan lereng kurang dari 2 persen. Di Jateng, tanah lunak antara lain terdapat di kawasan pesisir, seperti Brebes, Pemalang, Pekalongan, Kendal, dan Semarang di bagian utara, serta Cilacap, Kebumen, dan Purworejo di bagian selatan.
Amblesan tanah
Dalam acara tersebut juga dibahas penurunan muka tanah atau amblesan tanah di Jateng. Ahli geologi teknik dari Badan Geologi Kementerian ESDM, Sugalang, menuturkan, penurunan muka tanah biasanya terjadi secara perlahan-lahan dalam jangka waktu lama.
”Di Jateng, antara lain di Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Kendal. Juga, di Pekalongan yang saat ini ternyata semakin parah. Memang ada upaya dengan pembuatan tanggul, tetapi sistemnya tambah terus. Saat rob sudah melebihi itu, maka ketinggiannya ditambah,” kata Sugalang.
Menurut peta monitoring penurunan muka tanah daerah Semarang dan sekitarnya yang disusun Badan Geologi pada 2018, zona penurunan tanah di atas 10 sentimeter per tahun sudah mendekati pusat kota Semarang. Di antaranya mendekati Kelurahan Miroto, Kecamatan Semarang Tengah.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dalam sambutan yang dibacakan Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Sudaryanto, menuturkan, salah satu upaya mitigasi dilakukan dengan penggunaan internet dan big data (mahadata). Dengan demikian, penanggulangan dan antisipasi bencana diharapkan lebih baik.
”Mekanisme tanggap darurat secara cepat dan tepat perlu terus dilakukan. Mitigasi bencana kini semakin dibutuhkan dengan meningkatnya risiko. Karena itu, sistem informasi geospasial serta pendataan yang baik dapat menjadi hal positif dalam upaya tanggap darurat,” kata Ganjar.