Masyarakat, Komunitas, Desa Adat, dan Desa di Bali Berperan Kelola Sampah
Gubernur Bali Wayan Koster kembali mengeluarkan peraturan gubernur berkaitan sampah. Setelah menetapkan Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018, kini terbit Pergub Bali No 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Gubernur Bali Wayan Koster kembali mengeluarkan peraturan gubernur berkaitan sampah. Setelah menetapkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, kini terbit Pergub No 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Penandatanganan Pergub No 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber dilakukan Wayan Koster di Denpasar, Kamis (21/11/2019). ”Pergub itu penting karena soal sampah menjadi sangat sensitif buat Bali. Selain sebagai gaya hidup, juga karena posisi Bali sebagai destinasi wisata dunia, perlu mengelola sampah secara baik, komprehensif, sistemik, dan terorganisir,” kata Koster.
Koster menyatakan, Pergub No 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber dan Pergub Bali No 97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai didasari semangat mewujudkan budaya bersih dan meningkatkan kualitas kehidupan, lingkungan hidup, dan kesehatan masyarakat.
Pergub itu penting karena soal sampah menjadi sangat sensitif buat Bali. Selain sebagai gaya hidup, juga karena posisi Bali sebagai destinasi wisata dunia, perlu mengelola sampah secara baik, komprehensif, sistemik dan terorganisir.
Selain kedua pergub tentang sampah, terdapat beberapa pergub lain yang diterbitkan berkaitan upaya melindungi dan memperbaiki alam lingkungan Bali beserta segala isinya, di antaranya Pergub Bali No 45/2019 tentang Bali Energi Bersih dan Pergub Bali No 48/2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai.
Pergub Bali tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber juga mengarusutamakan peran masyarakat, mulai dari rumah tangga, komunitas, desa adat, hingga desa atau kelurahan dalam mengelola sampah. Pengelolaan sampah di rumah tangga dapat dilaksanakan secara mandiri atau bekerja sama dengan pihak desa adat atau desa/kelurahan.
Desa adat dapat menyusun aturan adat berupa awig-awig (peraturan) atau perarem (keputusan) dan bersinergi dengan desa atau kelurahan dalam mengangkut sampah serta membangun tempat pembuangan sampah sementara dengan sistem 3R (reuse, reduce, recycle).
Dari catatan Kompas, beberapa desa adat di Bali, salah satunya Desa Adat Padangtegal di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, memiliki keputusan desa adat atau pararem yang mengharuskan setiap warga desa adat (krama) dan orang yang berada di wilayah Desa Adat Padangtegal turut menjaga kebersihan lingkungan. Hal itu dinyatakan sebagai bentuk pemeliharaan palemahan atau hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan.
Lebih lanjut, Pergub Bali tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber itu juga mengatur kewajiban produsen untuk mengurangi sampah dengan cara menarik kembali sampah dari produk ataupun kemasan produk melalui bank-bank sampah yang ditunjuk.
Ubah pola
Koster mengatakan, semangat dalam Pergub Bali No 47/2019 juga bertujuan mengubah pola lama penanganan sampah dari mengumpulkan lalu mengangkut kemudian membuang seluruh sampah ke tempat pembuangan akhir. Kini, polanya menjadi memilah dan mengolah sampah sehingga sampah dapat diselesaikan sedekat mungkin dengan sumber sampah dan seminimal mungkin dibuang ke TPA.
”Siapa yang memproduksi sampah seharusnya menyelesaikan masalah sampahnya sehingga yang dibuang ke TPA hanya residu,” ujarnya sembari menambahkan prinsipnya, yakni pengelolaan sampah selesai di tempat asalnya.
Jumlah produksi sampah di Bali, menurut hasil kajian Bali Partnership yang dirilis Juli 2019, mencapai 4.281 ton per hari. Hampir separuh dari keseluruhan sampah di Bali itu dihasilkan dari tiga daerah yang merupakan daerah wisata, yakni Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Gianyar.
Dari total produksi sampah tersebut, baru sekitar 48 persen, atau setara 2.061 ton, yang sudah tertangani, sedangkan sisanya sekitar 52 persen atau sebanyak 2.220 ton belum ditangani secara baik.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya menyatakan, mereka menyambut dengan baik kehadiran Pergub Bali tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
”Kami dari kalangan industri pariwisata setuju ide dalam pergub itu dan mendukungnya,” kata Suryawijaya. Alasannya, pergub akan memaksimalkan pengolahan sampah secara mandiri sehingga kebersihan Bali akan terjaga.
Kami sedang memopulerkan program lubang daur ulang sampah atau bang daus sebagai cara mudah mengolah semua sampah organik agar tidak lagi dibuang ke TPA.
Ketua Yayasan Bali Organic Association (BOA) Ni Luh Kartini mengatakan, pengelolaan sampah secara mandiri dan berdasarkan kearifan lokal masyarakat tidak hanya mengurangi beban TPA, tetapi juga menguntungkan masyarakat.
Keuntungan masyarakat antara lain pengomposan sampah organik akan kembali menyuburkan tanah dan produksi kompos dapat dijual sebagai pupuk. ”Selama ini, semua sampah, termasuk sampah organik, dibuang ke TPA. Padahal, 60 persen sampah itu adalah sampah organik,” kata Kartini di tempat sama.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Klungkung Anak Agung Ngurah Kirana mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten Klungkung sudah menjalankan pengelolaan sampah secara mandiri sebelum diterbitkannya Pergub Bali tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
”Kami sedang memopulerkan program lubang daur ulang sampah atau bang daus sebagai cara mudah mengolah semua sampah organik agar tidak lagi dibuang ke TPA,” kata Kirana.
”Caranya mudah, buat lubang sedalam 1,5 meter dengan lebar sekitar 60 sentimeter sebagai tempat penimbunan sampah organik,” ujar Kirana menambahkan. Konsep bang daus atau lubang daur ulang sampah itu mengacu kebiasaan masyarakat Bali membuat blungbang atau lubang galian di kebun sebagai tempat penimbunan sampah organik.