Perguruan Tinggi Gabungkan Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Sepuluh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, di Nusa Tenggara Barat membentuk Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Sepuluh perguruan tinggi negeri dan swasta di Nusa Tenggara Barat membentuk Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana guna memperkuat koordinasi dan kerja sama dalam pengurangan risiko bencana. Selama ini, meski memiliki kemampuan dan sumber daya, perguruan tinggi dinilai masih bekerja sendiri-sendiri.
Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPT-PRB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terbentuk pada Rabu (20/11/2019). Hal itu ditandai dengan penyerahan surat keputusan pengangkatan pengurus FPT-PRB Provinsi NTB oleh Ketua FPT-PRB tingkat nasional Eko Teguh Paripurno.
Pembentukan FPT-PRB NTB difasilitasi oleh Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) dan Oxfam, organisasi nirlaba yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi.
Tidak menutup kemungkinan perguruan-perguruan tinggi lain di NTB akan ikut bergabung.
Ketua FPT-PRB Provinsi NTB Syamsudin, Kamis (21/11), mengatakan, 10 perguruan tinggi yang bergabung dalam forum itu tersebar di Pulau Lombok dan Sumbawa, dua pulau utama di NTB. ”Tidak menutup kemungkinan perguruan-perguruan tinggi lain di NTB akan ikut bergabung,” kata dosen Fakultas MIPA Universitas Mataram itu.
10 perguruan tinggi itu adalah Universitas Mataram, Universitas Muhammadiyah Mataram, Universitas 45 Mataram, Universitas NW Mataram, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yarsi Mataram, Universitas Gunung Rinjani, Universitas Islam Qomarul Huda, Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Pancor, Universitas Sumbawa, dan Universitas Teknologi Sumbawa.
Syamsuddin mengatakan, pengurangan risiko bencana menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk perguruan tinggi. Apalagi, Pemerintah Provinsi NTB memiliki misi ”NTB Tangguh dan Mantap”, yang salah satunya fokus pada mitigasi bencana. ”Kami sebagai komponen perguruan tinggi dan bagian dari masyarakat harus berkontribusi dan mendukung program itu,” katanya.
Setelah terbentuk, FPT-PRB NTB selanjutnya menyusun program kerja berdasarkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pada pilar pendidikan, misalnya, perguruan tinggi bisa ikut ambil bagian dalam pendidikan kebencanaan di masyarakat, seperti di sekolah-sekolah. Hal itu termasuk sosialisasi dan simulasi bagi peserta.
Hasil kajian itu bisa menjadi acuan bagi pemerintah daerah atau pengambil kebijakan.
Pendidikan kebencanaan diharapkan tidak hanya memperkuat kapasitas masyarakat, tetapi juga menjaga ingatan atau membuat mereka tidak lupa tentang bencana yang pernah terjadi. Selain itu, menanamkan kesadaran bahwa daerah mereka memiliki potensi bencana sehingga tetap siaga.
”Dari sisi penelitian, kami akan melakukan kajian-kajian terkait kebencanaan. Apalagi, kami berangkat dari berbagai macam bidang ilmu. Bencana juga multidisiplin. Hasil kajian itu bisa menjadi acuan bagi pemerintah daerah atau pengambil kebijakan,” tutur Syamsuddin.
Sementara, untuk aspek pengabdian masyarakat, FPT-PRB bisa terjun langsung ke masyarakat sebagai fasilitator, pelatih, atau menggelar kuliah kerja nyata (KKN) tematik terkait bencana. Hal itu termasuk juga mengambil peran saat terjadi bencana.
Berkaca dari gempa Lombok 2018, kata Syamsuddin, semua perguruan tinggi terlibat. ”Hanya saja, tidak ada koordinasi. Semua bergerak sendiri-sendiri. Padahal, semua punya sumber daya yang berbeda-beda. Ke depan, kami akan memaksimalkan sumber daya itu,” kata Syamsuddin.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Mataram, Didi S Agustawijaya, yang juga anggota Divisi Pendidikan FPT-PRB NTB, mengatakan, forum juga diharapkan bisa mendorong pendidikan kebencanaan masuk dalam kurikulum.
”Selama ini memang insidentil. Harapannya, bisa didorong agar bisa kontinu dari tingkat paling bawah sampai perguruan tinggi. Dengan begitu, masyarakat Indonesia, khususnya NTB, bisa sadar akan bencana,” kata Didi yang juga seorang geolog.
Secara terpisah, Ketua FPT-PRB tingkat nasional Eko Teguh Paripurno mengatakan, NTB merupakan provinsi ke-12 yang memiliki FPT-PRB. Sebelumnya, forum tersebut telah terbentuk di Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Bali, Sumatera Utara, dan Banten.
”Terbentuknya FPT-FRB di NTB berarti perguruan tinggi yang tergabung di dalamnya sepakat untuk mengurangi risiko bencana, baik di perguruan tinggi masing-masing, masyarakat, maupun daerah (NTB),” ujarnya.
Di awal, perguruan tinggi yang tergabung dalam FPT-PRB bisa menguatkan ketangguhan masing-masing anggota. Hal itu tidak dilakukan sendiri, tetapi bersama-sama melalui kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kerja sama termasuk berbagi sumber daya untuk menyelesaikan masalah masing-masing perguruan tinggi atau dalam menjalankan program terkait kebencanaan.
Setelah itu, kata Eko, mereka bersama-sama berkontribusi positif dalam penguatan ketangguhan warga dan masyarakat. ”Kalau sendiri-sendiri, bentuk penguatan kapasitas hanya akan disesuaikan oleh kemampuan universitas itu. Misalnya, perguruan tinggi bidang kesehatan, hanya akan fokus di kesehatan, sedangkan yang lain dihindari. Padahal, bentuk ketidaktangguhan itu bermacam-macam. Dengan adanya forum ini, kita saling tolong berbagi peran,” kata Eko.
Forum juga bisa mengambil bagian dalam mendorong percepatan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa Lombok 2018. Mereka bisa bersama-sama melihat apa yang perlu diperbaiki dan dibantu dari rencana aksi. ”Jika pemulihan bersifat fisik, mereka bisa melihat sisi ekonomi, sosial, dan psikologi, termasuk membaca ulang mengapa prosesnya lama atau bagaimana prosesnya bisa lebih cepat,” kata Eko.