Rentan Paham Radikal, Deradikalisasi di Sumut Perlu Terstruktur
Penangkapan 30 tersangka terkait bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan menunjukkan banyaknya anggota Jamaah Ansharut Daulah di Sumatera Utara. Upaya deradikalisasi perlu diperluas menyentuh kelompok rawan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Penangkapan 30 tersangka terkait bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan menunjukkan banyaknya anggota Jamaah Ansharut Daulah di Sumatera Utara. Jika upaya deradikalisasi tidak segera mendapat perhatian khusus, aksi teror dikhawatirkan kembali terulang.
Pengamat terorisme Al Chaidar, Jumat (22/11/2019), di Medan mengatakan, diperkirakan sekitar 4.900 anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) tinggal Sumut. Hal itu menjadikan Sumut sebagai wilayah di Sumatera dengan anggota JAD terbanyak. Lebih banyak daripada Aceh (1.000) maupun Sumatera Barat (3.200) dan Riau (3.000).
“Dari segi sejarah, Sumut punya catatan teror yang panjang dari 1970-an sampai sekarang,” kata Chaidar.
Sejak Darul Islam (DI) sampai Jamaah Islamiyah (JI), lalu sekarang JAD, Sumut tidak pernah lepas dari cengkraman teror. Menurut Chaidar, sasaran teror di Sumut juga terus berubah seiring munculnya kelompok radikal baru.
Teror DI pada 1970-an menyasar pemerintah sebagai upaya merontokkan rezim Orde Baru untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Sementara itu, kelompok JI yang muncul pada 1992 menarget kelompok keagamaan lain. Adapun JAD secara khusus membidik kepolisian sebagai sasaran aksi teror.
“Radikalisme sangat cepat berkembang di Sumut karena ada perbedaan suku dan agama yang sangat tajam. Oleh kelompok radikal, hal itu dianggap sebagai musuh nyata dan sasaran utama,” ujar Chaidar.
Pada Malam Natal tahun 2000, kelompok JI meledakkan bom di Gereja Kristen Protestan Indonesia Padangbulan, Medan. Teror itu merupakan bagian dari peledakan bom di 22 gereja di 10 kota, antara Medan di barat sampai Mataram, Nusa Tenggara Barat, di timur. Rentetan teror kala itu menelan 16 korban jiwa.
Adapun JAD, menurut Chaidar, mulai tumbuh pesat di Sumut sejak kembalinya Syawaluddin Pakpahan dari Suriah pada 2015. Syawaluddin merupakan salah satu dari dua anggota JAD yang menyerang Markas Polda Sumut pada 2017. Pada peristiwa itu satu polisi gugur dan satu pelaku tewas ditembak.
Kemunculan kelompok radikal baru tersebut biasanya juga diinisiasi oleh anggota dari kelompok lama yang ideologinya telah berubah.
Chaidar berpendapat, munculnya kelompok radikal baru dan evolusi sasaran teror di Sumut mengikuti tren perjuangan militan yang tengah berkembang Timur Tengah. Namun, kemunculan kelompok radikal baru tersebut biasanya juga diinisiasi oleh anggota dari kelompok lama yang ideologinya telah berubah.
Pengaruh tokoh lama yang masih sangat besar di mata anggota kelompok baru tentunya juga dapat dimanfaatkan dalam upaya deradikalisasi. Polisi dapat memanfaatkan sejumlah anggota JAD Sumut yang telah ditangkap uuntuk memengaruhi anggota kelompoknya sehingga dapat mengikis paham ekstrem.
"Salah satu dari tiga tersangka terkait bom bunuh diri di Polrestabes Medan yang ditangkap di Aceh itu mantan anak buah saya. Dia mantan narapidana teroris yang pernah ikut proses deradikalisasi," kata Sofyan Tsauri yang merupakan mantan anggota JAD.
Oleh karena itu, ia menilai, proses deradikalisasi tidak cukup hanya diberikan kepada narapidana terorisme selama di penjara. Upaya deradikalisasi juga perlu dilakukan secara terstruktur dan mengutamakan kelompok rawan.
Proses deradikalisasi tidak cukup hanya diberikan kepada narapidana terorisme selama di penjara. Upaya deradikalisasi juga perlu dilakukan secara terstruktur dan mengutamakan kelompok rawan.
Aktivitas dakwah mahasiswa di kampus dan kegiatan bekas narapidana terorisme juga mesti terus dipantau. Ini diperlukan untuk mencegah munculnya anggota baru sekaligus mengantisipasi kembalinya mantan narapidana terorisme.
"Pemahaman bahwa aksi teror itu salah dan bukan merupakan ibadah harus ditanamkan secara mendalam kepada kelompok rawan. Hal ini salah satu cara membentuk imunitas," kata Sofyan.
Sebelumnya, Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal Agus Andrianto mengatakan, tantangan proses deradikalisasi kini terus meningkat. Perkembangan teknologi media sosial menyebabkan komunikasi antara simpatisan dan perekrut sulit dipantau.
"Sekarang (simpatisan) tidak perlu bertemu langsung dengan imam tertentu untuk belajar, melalui media sosial saja bisa," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja, Selasa (19/11), menyatakan, kepolisian memiliki tim khusus yang disiagakan memantau aktivitas daring yang mengarah kepada radikalisme selama 24 jam penuh.