Banyak Difabel Bukan Sejak Lahir Masih Sulit Terima Kondisi Diri
Banyak warga difabel bukan sejak lahir masih sulit menerima kondisi dirinya. Mereka biasanya terbelit trauma, menyangkal cacat diri, dan terus melakukan berbagai upaya agar normal seperti sebelumnya.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS-Banyak warga difabel bukan sejak lahir masih sulit menerima kondisi dirinya. Mereka biasanya terbelit trauma, menyangkal cacat diri, dan terus melakukan berbagai upaya agar normal seperti sebelumnya.
Ketua Kelompok Penyandang Disabilitas Warsamundung Kabupaten Magelang Kasihan mengatakan, penolakan itu kerap berakibat fatal. Sebagai contoh kasus, ada rekannya yang lumpuh akibat kecelakaan menolak ikut berorganisasi dan berkegiatan bersama sesama warga difabel lainnya.
Dia, kata Kasihan, berkeras melakukan berbagai upaya pengobatan hingga akhirnya memilih opsi operasi. Dokter sudah mengingatkan, operasi itu beresiko tinggi. Kemungkinannya hanya dua, sembuh atau meninggal dunia.
“Rekan saya siap menanggung resiko. Akhirnya, dia justru meninggal dunia,” ujarnya, Minggu (24/11/2019).
Kelompok penyandang disabilitas Warsamundung beranggotakan 80 difabel. Sebagian besarnya adalah difabel daksa. Jumlah itu diklaim hanya bagian kecil dari difabel di Magelang. Tahun 2011, difabel di Kabupaten Magelang, mencapai sekitar 9.000 orang. Kurang bisa menerima keadaan diri jadi salah satu penyebab difabel sulit diajak berkegiatan.
“Karena kurang percaya diri dan menerima kondisi diri serta minimnya dukungan keluarga, banyak warga difabel hanya beraktivitas di rumah,” ujarnya.
Anggota Majelis Pertimbangan Daerah Ikatan Tuna Netra Muslim (ITMI) Kabupaten Magelang, Fuad Ghufron, mengatakan, sering mendekati, verifikasi keberadaan difabel netra di berbagai kecamatan, hingga mengajak mereka bergabung dalam ITMI. Ada yang merespon positif tapi ada juga yang tidak menanggapi ajakan itu.
Ia mencontohkan salah seorang warga difabel yang baru bergabung dengan ITMI. Warga difabel yang sehari-hari membuka usaha toko pertanian ini awalnya sempat menutup diri dan cenderung pendiam. Namun, dalam jangka waktu kurang dari setahun, dia mau membuka diri, bahkan mau belajar teknik pemijatan. Belakangan, dia pun membuka jasa pijat sebagai usaha sampingan.
“Di sela-sela aktivitasnya berdagang dan melayani pembeli, kini dia juga melayani permintaan pelanggan yang membutuhkan jasa pijat di tokonya,” ujarnya.
Selain kesadaran diri sendiri, menurut dia, setiap difabel yang ingin tetap mengembangkan diri, sepatutnya juga mendapatkan dukungan keluarga. Pihak keluarga biasanya juga sulit menerima kondisi tersebut dan cenderung memiliki rasa khawatir berlebihan.
Fuad mengatakan, kondisi itu pada akhirnya membuat difabel lebih terfokus pada berbagai upaya penyembuhan, yang semuanya sebenarnya sia-sia dan membuang waktu. Hal tersebut, tak jarang membuat mereka justru depresi dan frustasi.
Padahal, menurut Fuad, menjadi penyandang disabilitas bulan berarti mereka tidak bisa berpenghasilan dan mandisi secara ekonomi. Sebagian anggota ITMI ada yang menjalankan usaha mendiri membuat telur asin, gula jahe, dan berbagai produk kerajinan. Penyadang disabilitas juga berpeluang bekerja di sektor formal. Fuad sendiri, sejak tahun 2013, bekerja sebagai guru di SLB di Muntilan, Kabupaten Magelang.