Sikap Upacara Tak Bisa Diubah, Dua Siswa di Batam Terancam Dikeluarkan
Dua siswa SMP Negeri 21 Batam, Kepulauan Riau, terancam dikeluarkan karena menolak menghormat bendera saat upacara. Keputusan itu dinilai terburu-buru karena kedua siswa justru diminta pindah sekolah.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Dua siswa SMP Negeri 21 Batam, Kepulauan Riau, terancam dikeluarkan dari sekolah karena menolak memberi hormat saat upacara bendera. Keputusan itu memicu polemik.
Pada pertemuan di SMPN 21 Batam, Selasa (26/11/2019), yang dihadiri perwakilan Dinas Pendidikan Kota Batam, Kementerian Agama Kota Batam, Kepolisian Sektor Sagulung, dan Komando Rayon Militer Batam Barat, diputuskan kedua orangtua siswa harus segera memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Salah satu orangtua siswa, Herlina Sibuea (46), Rabu (27/11/2019), mengatakan, sikap anaknya tidak mengangkat tangan ke dahi saat upacara tidak mengurangi hormat kepada bendera Merah Putih. Mereka menghormati bendera dan lambang negara dengan sikap tegap dan kepala menunduk.
”Itu bagian dari keyakinan kami yang tidak dapat dipaksa untuk berubah,” katanya.
Kedua siswa yang diminta mengundurkan diri itu masing-masing duduk di kelas VIII dan IX. Pada Oktober lalu, ada juga satu siswa kelas IX yang telah mundur karena alasan serupa. Mereka tinggal tidak jauh dari sekolah itu, di Kelurahan Sei Langkai, Kecamatan Sagulung.
Pendekatan persuasif melalui diskusi dan mediasi sudah dilakukan enam bulan terakhir, tetapi tetap tidak berhasil mengubah sikap keduanya.
Para keluarga yang anaknya diminta mengundurkan diri itu merupakan penganut ajaran Saksi-saksi Yehuwa. Ajaran ini sempat dilarang di Indonesia pada 1976 sebelum dicabut tahun 1996. Pelarangan itu karena ajaran tersebut bertentangan dengan hukum negara, seperti tidak menghormat bendera.
Menurut Herlina, dalam keyakinan yang dianutnya itu, menyanyikan lagu nasional ”Indonesia Raya” dan menghormat bendera dengan tangan di dahi sama saja menyembah berhala.
Herlina menuturkan, pihak sekolah memberi mereka waktu dua minggu terhitung sejak Kamis (7/11/2019) untuk mengubah sikap anaknya ketika upacara bendera. Jika dalam waktu yang sudah ditentukan itu belum juga ada perubahan, kedua siswa tersebut harus pindah ke sekolah lain.
Menurut Kepala Sekolah SMP N 21 Batam Poniman Sardi, sikap kedua siswa itu melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pedoman Upacara Bendera. Pendekatan persuasif melalui diskusi dan mediasi sudah dilakukan enam bulan terakhir, tetapi tetap tidak berhasil mengubah sikap keduanya.
”Silakan sekolah di luar jika tidak bisa mengikuti aturan yang berlaku di sini. Yang mereka lakukan tidak sesuai dengan pendidikan pada umumnya,” ujarnya.
Selain tidak mau mengikuti tata cara upacara bendera, kedua siswa itu diketahui juga tidak bersedia mengikuti pelajaran Agama Kristen di sekolah sebagaimana mestinya. Mereka menolak ikut menyanyikan kidung ketika kebaktian dan menolak merayakan hari raya umat Kristen, termasuk Natal.
Poniman menyatakan, sikap tersebut secara otomatis akan membuat nilai kedua siswa pada mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama berada di bawah kriteria kelulusan minimal. Jika tetap bersekolah di SMPN 21 Batam, keduanya dikhawatirkan tidak dapat lulus ataupun naik kelas.
Seusai pertemuan di SMPN 21 Batam, Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam Hendri Arulan menyatakan, sikap kedua siswa itu bertentangan dengan prinsip kewarganegaraan dan kebangsaan. ”Kami akan membantu agar mereka dapat masuk paket sekolah nonformal,” ucapnya.
Kedua siswa itu masih masuk sekolah seperti biasa. Herlina mengatakan belum memiliki rencana jika anaknya betul-betul dikeluarkan dari SMPN 21 Batam. Namun, secara tegas, ia menolak opsi memindahkan anaknya ke sekolah Paket B seperti saran Dinas Pendidikan Kota Batam.
Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah Wilayah Kepri Erry Syahrial mengatakan, keputusan mengeluarkan kedua siswa itu berpotensi melanggar hak asasi manusia. Hak dasar anak adalah mendapat hak pendidikan dari pemerintah, terlepas apa pun sikapnya.
Namun, di sisi lain, ada aturan pemerintah yang harus diikuti setiap pelajar yang menempuh pendidikan formal. Tawaran solusi ke sekolah nonformal pun ditolak.
Erry berharap para pengajar di Batam masih mengedepankan upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut.