Angin kencang mendominasi bencana alam di Jawa Timur. Sudah lebih dari 30 laporan angin kencang yang mengakibatkan lebih dari 500 bangunan warga dan publik rusak. Tanah longsor dan banjir tetap mengancam.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Angin kencang mendahului datangnya musim hujan di Jawa Timur. Sepanjang bulan ini, telah terjadi lebih dari 30 peristiwa angin kencang di sejumlah kabupaten/kota. Lebih dari 500 rumah warga rusak.
Sejak awal bulan sampai dengan Kamis (28/11/2019), menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, angin kencang atau puting beliung telah menerpa Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Ngawi, Madiun, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, dan Mojokerto.
Hampir sebulan terakhir, sudah lebih dari 30 peristiwa angin kencang di Jatim. Lebih dari 500 rumah dan bangunan publik (sekolah, tempat ibadah, balai warga) rusak ringan, sedang, atau berat. Untuk kategori bangunan rusak parah hingga roboh sudah lebih dari 100 unit.
Selain angin kencang, sudah terjadi tanah longsor dan tanah gerak, kata Subhan
Peristiwa terkini melanda Kecamatan Kemlagi, Mojokerto. Menurut laporan BPBD Kabupaten Mojokerto, angin dengan kecepatan 70 kilometer perjam mengakibatkan putusnya jaringan listrik, pohon tumbang, dan merusak bangunan, balai desa, tempat ibadah di sejumlah desa yakni Mojowiryo, Mojowono, Mojokusumo, dan Pandan Krajan.
Satu masjid rusak sedang, dua bangunan balai pertanian Mojowono rusak berat, 14 rumah rusak parah, 10 rumah rusak sedang, dan 12 rumah rusak ringan. Tidak ada korban jiwa akibat peristiwa yang terjadi pada pukul 14.00 WIB tadi.
Kondisi serupa juga dialami Kecamatan Kota Bojonegoro. Rabu (27/11) sore, angin kencang dan hujan deras menerpa Desa Campurejo dan Desa Mulyoagung. Sebanyak 6 rumah rusak berat, 1 rumah rusak ringan, dan sebagian atap bangunan SMP Negeri 4 Bojonegoro roboh. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.
Kepala Pelaksana BPBD Jatim Subhan Wahyudiono mengatakan, angin kencang mendominasi bencana di awal musim hujan. Hujan deras memang sudah terjadi tetapi belum merata di 38 kabupaten/kota atau seluruh wilayah provinsi berpenduduk 40 juta jiwa itu.
“Selain angin kencang, sudah terjadi tanah longsor dan tanah gerak,” kata Subhan. Bencana-bencana hidrometeorologi itu tetap menjadi momok bagi daerah di Jatim selama musim hujan.
Padahal, kekeringan juga belum tuntas. Di Kecamatan Ngebel, Ponorogo, dan Kecamatan Kampak, Trenggalek, pada Kamis ini dilaporkan juga terjadi kebakaran hutan dan lahan. Daerah-daerah yang kebakaran itu masih berkarakter kering meski mungkin sudah pernah diguyur hujan tetapi yang intensitasnya kecil.
Pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Amien Widodo mengatakan, kerusakan bangunan akibat bencana menjadi salah satu indikasi bahwa antisipasi oleh pemerintah dan masyarakat belum mantap. Padahal, Jatim seperti daerah lainnya di Indonesia hanya mengenal dua musim yakni kemarau dan hujan.
“Saat kemarau, kita terlalu sibuk menangani krisis air sehingga melupakan antisipasi musim hujan,” katanya. Contohnya, saat musim kemarau, di luar mengatasi krisis air seharusnya pemerintah dan publik mulai menanam pohon dan merehabilitasi kawasan kritis. Harapannya, tanaman akan tumbuh pada musim hujan dan membantu menekan potensi tanah longsor, tanah gerak, dan menyimpan air.
Mendekati musim hujan, seharusnya masyarakat dan pemerintah mulai memperhatikan kekuatan bangunan dan memperbaiki rumah jika ada kerusakan. Dengan begitu, saat angin kencang dan atau hujan deras datang, bangunan tidak sampai rusak berat apalagi roboh.