Desak Surat Edaran Gubernur Diganti, Buruh Jabar Ancam Mogok
Buruh wilayah Cirebon Raya, Jawa Barat, mengancam mogok massal jika Pemerintah Provinsi Jabar tidak mengganti surat edaran gubernur tentang pelaksanaan upah minimum kabupaten/kota dengan surat keputusan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Buruh wilayah Cirebon Raya, Jawa Barat, mengancam mogok massal jika Pemerintah Provinsi Jabar tidak mengganti surat edaran gubernur tentang pelaksanaan upah minimum kabupaten/kota dengan surat keputusan. Surat edaran tersebut dinilai tidak mengikat pihak perusahaan sehingga merugikan buruh.
Desakan itu disuarakan puluhan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cirebon Raya saat berunjuk rasa di Kantor DPRD Kabupaten Cirebon dan Kantor Bupati Cirebon, Kamis (28/11/2019). Selain berorasi, perwakilan buruh juga bertemu anggota DPRD untuk menyampaikan aspirasi buruh di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
Dalam Surat Edaran Nomor 561/75/Yanbangsos tentang Pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Provinsi Jabar Tahun 2020 itu, diatur kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sebesar 8,51 persen. UMK tertinggi adalah Kabupaten Karawang sebesar Rp 4.594.324,54, sedangkan yang terendah Kota Banjar sebesar Rp 1.831.884,83.
Sekretaris Jenderal FSPMI Cirebon Raya Moh Machbub mengatakan, surat edaran itu hanya bersifat imbauan, tidak seperti surat keputusan yang memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan. ”Jadi, jika perusahaan tidak menaikkan upah buruh sesuai dengan UMK, mereka tidak bisa dihukum karena hanya berpatokan pada surat edaran. Hanya Jabar yang buat surat edaran,” ujarnya.
Hal ini dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 90 dan 185. Oleh karena itu, Pemprov Jabar diminta mengganti surat edaran itu dengan surat keputusan. DPRD Kabupaten Cirebon dan Bupati Cirebon Imron Rosyadi juga didesak segera membuat surat rekomendasi kepada gubernur untuk merevisi surat edaran tersebut.
”Jika tanggal 2 Desember gubernur (Ridwan Kamil) tidak mengubah surat edaran itu menjadi surat keputusan, pada 3 dan 4 Desember buruh se-Jabar akan melakukan aksi mogok. Kami tidak main-main,” kata Machbub. Jika itu terjadi, katanya, kawasan industri terbesar di Indonesia, yakni Jabar, akan lumpuh karena tidak beroperasi.
Hal itu dilakukan karena surat edaran dinilai akan merugikan buruh. Saat ini saja, katanya, masih banyak perusahaan di Cirebon Raya yang belum membayar buruhnya sesuai dengan UMK. Tahun depan, UMK Kabupaten Cirebon ditetapkan Rp 2.196.000. ”Ada anggota kami yang hanya dibayar Rp 30.000 per hari. Dia bekerja dari pagi hingga pukul 22.00,” ungkapnya.
Unit Pengelolaan Teknis Daerah Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah III Cirebon Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jabar mencatat, terdapat lebih dari 20 perusahaan yang tidak membayar buruh sesuai dengan UMK. Tahun 2018, ada sekitar 50 perusahaan yang melanggar di Cirebon Raya. Pelanggaran terbanyak terkait pemenuhan UMK.
Machbub juga meminta Pemprov Jabar tidak buru-buru menilai UMK sebagai alasan pindahnya industri padat karya dari Jabar ke provinsi lain. ”Faktor lain perusahaan pindah itu bisa karena korupsi atau birokrasi di pemerintah. Jadi, pemerintah sendiri yang buat masalahnya, tetapi buruh yang menanggungnya,” katanya.
Mad Soleh, Ketua Komisi II DPRD Cirebon, mengatakan, pihaknya segera mengirim surat rekomendasi untuk Gubernur Jabar terkait keluhan buruh di Cirebon. ”Kami usahakan sebelum tanggal 2 Desember. Buruh tidak boleh nelangsa,” katanya.
Secara terpisah, Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengatakan, surat edaran gubernur tersebut untuk membuat perusahaan tidak pindah ke daerah lain sehingga berujung terjadinya pengangguran. ”Kalau saya maunya langsung saja UMK Rp 10 juta. Tetapi, siapa yang mampu? Kalau tinggi, nanti perusahaannya bubar,” ujarnya.
Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menjelaskan, pembuatan surat edaran itu untuk mencegah penutupan pabrik karena biaya UMK tinggi. Sejak 2016-2019, tulisnya, sekitar 83.000 orang kehilangan hak atas pekerjaannya. Salah satu masalahnya adalah UMK.
Ketua Apindo Jabar Deddy Wijaya mengatakan, surat edaran merupakan kebijakan yang fleksibel, tak memaksakan kehendak. ”Sebab, kalau dengan surat keputusan, ada konsekuensi pidana dan ini bagi investor akan menakutkan. Jika mereka merasa berat dengan besaran upah dan bisnis tak mendatangkan untung, mereka tentu akan hengkang,” ujarnya (Kompas, 23/11/2019).