Kerusakan hutan di Sulawesi Selatan kian masif. Dalam beberapa tahun terakhir, luas tutupan hutan berkurang dari 2,6 juta hektar menjadi 1,3 juta hektar. Saat ini benteng hutan tropis Sulsel berada di sekitar Luwu Utara.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Kerusakan hutan di Sulawesi Selatan kian masif. Dalam beberapa tahun terakhir, luas tutupan hutan berkurang dari 2,6 juta hektar menjadi 1,3 juta hektar. Saat ini benteng hutan tropis Sulawesi Selatan berada di sekitar Luwu Utara dan sekitarnya.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi dan Pameran Pelestarian Hutan di Makassar, Kamis (28/11/2019). Acara ini digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan dan Green Youth Movement. Diskusi, antara lain, menghadirkan Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani yang dinilai menjadi kepala daerah yang masih konsisten menjaga kelestarian hutan.
Data yang dikeluarkan Walhi menyebut kerusakan hutan terjadi cukup masif di banyak wilayah di Sulsel. Sejak 2012, deforestasi mencapai rata-rata 10.688,31 hektar per tahun atau sekitar 30,02 hektar per hari. Banjir, longsor, hingga banjir bandang yang terjadi bersamaan di 13 kabupaten/kota awal 2019 diduga kuat disebabkan kondisi lingkungan, terutama hutan dan DAS, yang rusak.
”Artinya, setiap jam kita kehilangan 1,25 hektar hutan di Sulsel. Ini situasi yang mengkhawatirkan. Luas Sulsel 4.671.700 hektar. Namun, tutupan hutan yang tersisa hanya tinggal 1.360.418,15 hektar. Benteng terakhir hutan tropis Sulsel hanya tersisa di wilayah utara. Bagian tengah dan selatan sudah kritis,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sulsel M Al Amin.
Wilayah utara yang memiliki tutupan hutan masih bagus di antaranya Luwu Utara, Luwu Timur, Luwu, dan Toraja. Kerusakan hutan umumnya disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan, permukiman, penebangan ilegal, dan berbagai proyek lain.
”Proyek perhutanan sosial bertujuan agar masyarakat bisa mengambil manfaat ekonomi dari hutan dengan tetap menjaga hutan. Namun, sering kali konsep itu salah kaprah. Masih ada masyarakat mengira pembukaan akses perhutanan sosial berarti bisa membuka hutan,” katanya.
Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani mengatakan, sebagai wilayah yang berada di jantung Sulawesi, Luwu Utara masih memiliki hutan seluas 530.000 hektar atau 70,64 persen dari total luas wilayah Luwu Utara. Namun, diperlukan upaya dan kerja sama semua pihak untuk menjaga kawasan hutan ini tetap terjaga.
Dia mengatakan, kadang pembangunan membuat pihaknya dilema. Ia mencontohkan pembukaan akses jalan di daerah terisolasi di sekitar wilayah hutan. Di satu sisi, Indah mengatakan, infrastruktur penting untuk masyarakat. Namun, dia khawatir hal itu bakal menjadi akses masyarakat untuk membuka hutan.
”Di wilayah yang memiliki kawasan perhutanan sosial, sebagian warga justru membuka hutan. Padahal, maksudnya memberikan kesempatan untuk tumpang sari atau mengambil manfaat lain tanpa merusak hutan. Karena itu, kami butuh dukungan semua pihak,” katanya.
Sementara itu, Kepala Seksi Tenurial dan Hutan Adat Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sulawesi Arief Budi Setiawan mengatakan, pembukaan akses pada perhutanan sosial, hutan adat, hingga kemitraan dilakukan agar tak ada konflik sosial karena terbatasnya akses pada sumber daya alam.
”Kami berharap masyarakat bisa tetap menjaga hutan sembari mendapat manfaat ekonomi. Di Sulsel, perhutanan sosial dilakukan secara merata hampir semua daerah dengan luas sekitar 5.400 hektar, di luar hutan adat,” katanya.