Jajaran pemerintahan di Nusa Tenggara Barat diminta mengubah pola pikir masyarakat miskin yang mengharapkan fasilitas dan bantuan untuk mengentaskan warga dari kemiskinan.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Jajaran pemerintahan di Nusa Tenggara Barat diminta mengubah pola pikir masyarakat miskin yang mengharapkan fasilitas dan bantuan untuk mengentaskan warga dari kemiskinan. Selain itu, warga juga diminta tidak mau lagi menerima bantuan kemiskinan jika kondisi sosial ekonominya lebih sejahtera.
”Kalau Gubernur dan Bupati berkunjung ke suatu desa, (warga berpikir) mau dikasih bantuan apa oleh gubernur/bupati. Pola pikir yang berorientasi mendapat fasilitas seperti ini harus diubah, yaitu dengan cara membangkitkan semangat untuk mandiri dan keluar dari kemiskinan,” ujar Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah, dalam acara ”Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan” yang diikuti 10 bupati-wali kota di NTB, Kamis (28/11/2019), di Hotel Lombok Raya, Mataram, Lombok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik NTB menyebutkan pada September 2018 penduduk miskin di kota-desa di NTB mencapai 735.620 orang (14,63 persen), sedikit turun dari Maret 2019 sebanyak 735.960 orang (14,56 persen). Menurut Sitti, dari beberapa daerah di Tanah Air, NTB termasuk daerah yang memiliki penurunan angka keparahan dan kedalaman kemiskinan yang progresif.
Akan tetapi, pencapaian itu tidak membuat lalai untuk mengevaluasi dan mengoreksi program penanggulangan kemiskinan. Masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus dijawab dengan program-program intervensi yang nyata, menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat miskin.
Raskin ”nyasar” pada keluarga yang dikategorikan tidak miskin.
PR itu, antara lain, basis data penduduk miskin yang belum akurat. Saat ini masih banyak keluarga miskin yang tidak mendapatkan bantuan beras miskin (raskin), sebab raskin ”nyasar” pada keluarga yang dikategorikan tidak miskin. ”Sekitar 25 persen keluarga desil lima masih memperoleh raskin. Sementara ada 24 persen keluarga desil satu, dua, dan tiga tidak mendapat raskin,” ujarnya. Tidak terdistribusinya bantuan kepada yang berhak disebabkan basis data keluarga yang tidak akurat.
Desil adalah kelompok per sepuluhan rumah tangga untuk menentukan nilai garis kemiskinan: sangat miskin, miskin, dan hampir miskin. Desil 1 adalah rumah tangga dalam kelompok 10 persen terendah, desil 2 adalah rumah tangga dalam kelompok 10 persen-20 persen terendah, desil 3 adalah rumah tangga dalam kelompok 20 persen-30 persen terendah, dan seterusnya sampai desil 10.
Munculnya persoalan dalam distribusi raskin, kata Wagub NTB, mengisyaratkan basis data yang kurang akurat. Selain itu ada pola pikir warga yang masih senang dianggap miskin sehingga program intervensi dari pemerintah untuk pengentasan warga dari kemiskinan kerap melenceng dari perencanaan.
Oleh sebab program NTB Gemilang yang digelar Pemprov NTB, seperti zero waste dan membangun desa wisata diharapkan bisa menggerakkan partisipasi dan mendidik masyarakat untuk mandiri. Keluarga yang masuk kategori desil lima juga semestinya memiliki kesadaran untuk tidak menerima raskin karena sudah mampu membiayai hidup sehari-hari karena memiliki pendapatan tetap.
Dalam kesempatan Wakil Gubernur juga memberikan penghargaan kepada para kepala desa, lembaga sosial masyarakat, komunitas dan media massa daring dan cetak, termasuk harian Kompas yang telah berpartisipasi memberitakan program-program pengentasan warga dari kemiskinan di NTB.
Malu miskin
Sekretaris Bappeda Lombok Timur M Fauzan mengakui data yang dihimpun dari desa berbeda dengan data kemiskinan versi pemerintah pusat. Perbedaan data ditengarai karena adanya faktor kedekatan hubungan antara aparat pemerintah desa dan warganya sehingga warga yang mestinya tidak dikategorikan keluarga miskin masuk dalam keluarga miskin. Selain itu, masih ditemukan raskin dijual oleh warga yang tidak berhak menerimanya. ”Itu protes dan keluhan banyak warga,” ujarnya.
Guna mengatasi persoalan itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Timur, Rahman Farly mengatakan Pemkab Lombok Timur memiliki strategi agar orang malu menjadi orang miskin. Caranya dengan membuat stiker dilengkapi nama dan alamat, bertuliskan kalimat ”Saya Orang/Keluarga Miskin” yang ditempelkan di jendela, pintu dan tempat lain di rumah yang memudahkan orang banyak membaca tulisan stiker itu.
Untuk itu aparat di jajaran Pemkab Lombok Timur terus melakukan monitoring. Jika stiker sudah dilepas dari tempat semula, berarti warga bersangkutan dihapus sebagai warga penerima manfaat pengentasan warga dari kemiskinan.
”Saat ini kami masih memvalidasi data jumlah keluarga miskin, selain membicarakan soal anggaran dan payung hukum dari program itu. Insya Allah program pemasangan stiker itu berjalan efektif Januari 2020,” Rahman Firly.