Tiga Kasus Tragis di Banyumas, Cermin Masyarakat Transisi yang ”Sakit”
Lima bulan terakhir, tiga kasus pembunuhan tragis terjadi di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Selain motif ekonomi, transisi masyarakat dari tradisional menuju modern cenderung mencari jalan pintas untuk memuaskan nafsu.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Dalam lima bulan terakhir, tiga kasus pembunuhan tragis terjadi di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Selain motif ekonomi, kondisi masyarakat pinggiran, seperti Banyumas, yang sedang bertransisi dari tradisional menuju modern cenderung mencari jalan pintas untuk memuaskan nafsunya.
”Dari ilmu sosiologi, ini adalah perilaku menyimpang. Masyarakat Indonesia pada umumnya dan Banyumas khususnya adalah masyarakat yang berada dalam kondisi transisi, antara tadinya tradisional mengarah ke modern. Masyarakat dalam kondisi anomali,” kata pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Masrukin, Kamis (28/11/2019).
Kasus terbaru, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Banyumas menangkap tersangka Hartoyo (36), Selasa (26/11/2019), di Tegal. Hartoyo diduga membunuh Fuji Marseno (27). Jasad Fuji ditemukan mengenaskan di bawah jembatan Sungai Mbawang di Pekuncen, Banyumas, dengan bekas luka jerat di leher.
”Pelaku ingin mengambil mobil yang digadaikan kepada korban, tapi uang tebusan belum cukup,” kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Banyumas Komisaris Davis Busin Siswara, Kamis (28/11/2019).
Davis menyebutkan, mobil yang digadaikan kepada korban adalah mobil rental. Hartoyo meminjam mobil itu sudah selama 20 hari kepada Iwan, pemilik mobil. Iwan lalu meminta mobilnya dikembalikan karena Hartoyo belum membayar uang rental. ”Karena panik harus mengembalikan mobil gadai yang tadinya dia rental, akhirnya dia mengambil tindakan pembunuhan,” kata Davis.
Hartoyo menggadaikan mobil kepada Fuji senilai Rp 25 juta. Namun, saat ingin mengambil kembali mobil itu, Hartoyo hanya memiliki uang Rp 2,5 juta. Hartoyo pun sudah merencanakan pembunuhan dengan membawa kabel sepanjang 1,8 meter.
Tersangka awalnya mencoba meminjam mobil tersebut dengan alasan akan membawa rombongan tamu. Kemudian, korban ikut menemani tersangka. Namun, di tengah jalan pembunuhan terjadi. ”Pelaku sempat meminta berputar-putar untuk mencari lokasi yang aman untuk beraksi,” kata Kepala Unit I Reserse Kriminal Polresta Banyumas Iptu Eddy Susianto.
Eddy mengatakan, korban dibunuh di tepi jalan dekat sekolah di Jatilawang. Semula tersangka berada di samping korban yang mengemudi. Namun, di tengah jalan, tersangka mengaku lelah serta ingin beristirahat dan pindah duduk di belakang pengemudi. Saat itulah tersangka menjerat leher korban menggunakan kabel. ”Korban dibunuh sekitar pukul 18.00, lalu dibuang di sungai sekitar pukul 19.00,” kata Eddy.
Masrukin menyampaikan, salah satu ciri masyarakat dalam kondisi anomali ada dalam kasus pembunuhan karena rebutan warisan. Pada Oktober 2019, harta warisan menjadi motif pembunuhan satu keluarga di Banyumas. Kepolisian Resor Banyumas menetapkan empat tersangka yang merupakan ibu beserta tiga anaknya dalam kasus penemuan empat tengkorak dan kerangka manusia yang dikubur di belakang rumah.
Keempat tersangka itu adalah Saminah (52) bersama ketiga anaknya, yaitu Sania Roulita (37), Irfan Syahputra (32), dan Achmad Saputra (27). Adapun keempat korban adalah Supratno yang merupakan kakak Saminah. Saat dibunuh, 9 Oktober 2014, Supratno berusia 51 tahun. Kemudian, Sugiono (46), yang merupakan adik Saminah, dan Heri (41), adik bungsu Saminah. Selain itu, korban lainnya adalah Vivin (22), anak dari Supratno.
”Dalam konteks kasus itu, mereka yang melakukan pembunuhan karena warisan sudah tidak memikirkan tentang nilai-nilai keluarga besar. Yang dipentingkan adalah keinginan dan keuntungan keluarga sendiri untuk menguasai harta atau materi. Itu yang menjadi tujuan,” kata Masrukin.
Yang dipentingkan adalah keinginan dan keuntungan keluarga sendiri untuk menguasai harta atau materi. Itu yang menjadi tujuan. (Masrukin)
Masrukin mengatakan, norma-norma keluarga tradisional menganggap keluarga besar, seperti paman, kakek, dan nenek, adalah sesuatu yang bernilai sehingga sangat dihormati. Sementara keluarga modern, yang terpenting adalah keluarga inti, yaitu ayah, ibu, dan anak.
”Orang yang seperti itu terjebak dalam proses patologi modernisasi atau istilahnya sakit di era modern karena dia hanya menggunakan akal budi untuk mendapatkan tujuan. Dari segi transisi masyarakatnya, dia hanya berpikir satu dimensi saja, yaitu dimensi akal budi instrumental saja,” paparnya.
Menurut Masrukin, para tersangka menggunakan orang lain untuk kepentingan pribadinya atau keluarga kecilnya saja. Dia tidak melihat itu keluarga atau teman. Sejumlah kasus di Banyumas membuktikan hal tersebut.
”Itulah salah satu kelemahan orang modern. Istilahnya, dia gelap mata. Apalagi ini terdesak keinginan-keinginan konsumtif yang diukur dari materi. Bukan didorong kebutuhan, melainkan nafsu untuk konsumsi, mendapat duit banyak, dan berfoya-foya,” ujarnya.
Terkait kasus pembunuhan dalam astu keluarga besar itu, Kepala Kepolisian Resor Kota Banyumas Ajun Komisaris Besar Bambang Yudhantara Salamun menyampaikan, para tersangka dan korban semua tinggal di atas lahan seluas 298 meter persegi dengan dua rumah, satu rumah adalah milik orangtua mereka, yaitu Misem, dan satu rumah di sebelahnya adalah rumah milik Saminah. Sekitar 10 tahun lalu sempat datang pihak bank melakukan foto-foto, mendokumentasikan lahan dan rumah itu karena diagunkan.
”Ini menimbulkan kemarahan Saminah. Anak-anak selalu menyaksikan ibunya dikeroyok, cekcok tiga lawan satu. Setelah beranjak dewasa, anak-anak ini ikut terlibat cekcok. Pada suatu ketika mereka merasa kehidupan mereka terancam, lalu mereka mengambil langkah untuk melakukan pembunuhan terhadap para korban,” kata Bambang saat itu.
Mutilasi
Kasus lainnya, pada Juli 2019, Kepolisian Resor Kota Banyumas juga membekuk tersangka Denny Priyanto (37), warga Gumelem, Susukan, Kabupaten Banjarnegara, yang nekat membunuh dan memutilasi kekasihnya, KW (51), warga Cieulenyi, Bandung, karena minta dinikahi. Korban dibunuh di Puncak, Bogor, lalu tubuhnya dipotong-potong di perjalanan menuju Kebumen, lalu dibakar, dan dibuang di hutan jati di sekitar Waduk Sempor, Kebumen, serta sekitar hutan pinus di Tambak, Banyumas.
”Ini dilakukan sendiri. Memang ini sudah direncanakan oleh pelaku karena ada tuntutan dari korban agar dinikahi. Ada ketakutan dan kekhawatiran karena pelaku juga punya istri dan anak sehingga diambil jalan pintas, dibunuh,” kata Bambang, Kamis (11/7/2019) malam, di lokasi pembuangan potongan korban di sekitar Waduk Sempor, Kebumen.
Masyarakat modern sudah mengalami dehumanisasi karena ciri khas masyarakat modern terlalu menggunakan akal budi instrumental tanpa melibatkan hati. (Masrukin)
Menurut Masrukin, dari ketiga kasus tragis itu, setelah membunuh korbannya, para tersangka pun mencoba menghilangkan barang bukti, misalnya dengan mengubur korban di pekarangan rumah atau membakar dan memutilasi korban dengan harapan terhindar dari penyelidikan polisi.
”Masyarakat modern sudah mengalami dehumanisasi karena ciri khas masyarakat modern terlalu menggunakan akal budi instrumental tanpa melibatkan hati. Mereka menggunakan jalan pintas. Gejala itu meluas ditambah adanya media sosial yang menampilkan tips (pembunuhan) sehingga justru jadi pembelajaran untuk pelaku,” kata Masrukin.
Masrukin mengatakan, untuk menekan potensi kejahatan tersebut, hukum harus ditegakkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku sekaligus mencegah para pelaku kejahatan berbuat hal yang sama.
”Yang penting di sini, penegakan hukum mesti diusut setuntas-tuntasnya dan diberitakan kepada masyarakat bahwa para pelaku itu cepat atau lambat akan ketahuan oleh sistem kepolisian,” katanya.