Puluhan sekolah dasar negeri di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ditutup dalam beberapa tahun terakhir akibat kekurangan siswa. Selain karena alasan merantau, orangtua lebih memilih madrasah ibtidaiyah bagi anaknya.
Oleh
abdullah fikri ashri
·2 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Puluhan sekolah dasar negeri di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, terpaksa ditutup dalam beberapa tahun terakhir akibat kekurangan siswa. Selain karena alasan merantau, orangtua lebih memilih madrasah ibtidaiyah bagi anaknya. Dalam setahun, sekolah dasar negeri di Cirebon berkurang sebanyak 139 unit.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, saat ini terdapat 886 SDN di Cirebon. Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2016, yakni 1.025 SDN.
”Hampir setiap tahun, ada 3-4 SDN yang digabung dengan SD lain karena kekurangan siswa. Jumlahnya masih bisa bertambah,” ujar Kepala Bidang SD di Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon Amin, Kamis (28/11/2019).
Saat ini saja, katanya, ada tujuh SDN yang akan digabung karena jumlah siswa kurang dari 60. Tahun lalu, ada sembilan SDN yang ditutup dan digabung dengan sekolah yang muridnya lebih banyak. Padahal, umumnya, SDN memiliki jumlah siswa lebih dari 120 orang.
Menurut Amin, pemicu berkurangnya siswa SDN di Cirebon antara lain karena orangtua siswa merantau dan memilih menyekolahkan anaknya di madrasah ibtidaiyah (MI). Melalui MI, siswa mendapatkan ijazah diniyah takmiliyah awaliyah (DTA) yang merupakan syarat agar siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Hal ini berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Cirebon terkait DTA. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon mencatat, pada 2017, berdiri 156 MI. Jumlah itu melonjak dibandingkan pada 2013, yakni 42 MI.
”Sekarang banyak MI berdiri sehingga ada persaingan memperebutkan anak didik,” ujarnya. Meski demikian, pihaknya berjanji berbenah dalam metode pembelajaran hingga hubungan guru dengan masyarakat di sekitar sekolah.
Menurut Amin, sekolah yang kekurangan siswa akan berdampak pada sulitnya memenuhi biaya operasional sekolah, termasuk membayar guru honorer. Sebab, dana bantuan operasional sekolah atau BOS dihitung dari jumlah siswa. Satu siswa mendapatkan dana Rp 800.000.
”Selain itu, guru tidak bersemangat lagi mengajar. Mereka hanya menggugurkan kewajiban. Ini berdampak pada kualitas pendidikan yang didapatkan siswa,” ungkapnya.
Galuh, guru honorer di SDN 3 Karangwuni, mengatakan, masalah sekolah kekurangan siswa bukan karena siswa tidak ingin sekolah. ”Tetapi, ini terkait akses ke sekolah dan orangtuanya merantau,” ucapnya.
Di SDN 3 Karangwuni, misalnya, hanya diisi 26 siswa dari kelas I hingga kelas VI. Padahal, batas minimal siswa setiap kelas adalah 20 orang. Penyebabnya, sebagian besar warga setempat merantau ke Jakarta dan Palembang, Sumatera Selatan, sehingga anak usia sekolah berkurang.
Akses ke sekolah yang berjarak 33 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon itu juga umumnya menanjak dan berbatu di sejumlah titik. Saat hujan, longsor mengancam daerah itu. ”Makanya, jarang guru mau mengajar di sini. Padahal, sekolah ini paling dekat bagi warga setempat,” katanya.