Bertahun-tahun Dibahas, UU Masyarakat Adat Diharapkan segera Terwujud
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mendesak agar Indonesia segera memiliki Undang-undang Masyarakat Adat, sehingga persoalan masyarakat adat bisa ditangani secara komprehensif. Selama ini, banyak peraturan perundangan hanya sepotong-sepotong dalam mengatur hak-hak masyarakat adat sehingga kerap timbul masalah di lapangan.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolingi mengatakan, pada periode pemerintahan yang baru ini, pihaknya akan tetap berkomunikasi dan mendorong agar fraksi-fraksi di DPR dan kementerian terkait segera melanjutkan pembahasan sehingga UU Masyarakat Adat segera terwujud.
AMAN sudah menginiasi Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat sejak lama, tetapi selalu terhenti di tangan pemerintah. Draf RUU yang disusun AMAN diusulkan PDI Perjuangan dan masuk Program Legislasi Nasional (2012). Itu menjadi inisiatif DPR, tetapi gagal disahkan (2014).
Draf kemudian masuk Prolegnas 2015 usulan Partai Nasdem dan menjadi inisiatif DPR. Hingga tahun 2018 keluar Surat Presiden yang menunjuk enam kementerian untuk membuat Daftar Inventaris Masalah (DIM). Langkah ini kembali menemui kegagalan, karena DIM itu tidak ada wujudnya.
Enam kementerian yang dimaksud adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Desa Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Presiden sudah menunjuk enam kementerian untuk membuat DIM, tetapi DIM-nya tidak kelihatan di mana sekarang?” ujar Rukka saat berbicara dalam "Seminar Nasional Menakar Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf: Pentingkah RUU Masyarakat Adat?" di Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, Jumat (29/11/2019).
Hadir sebagai narasumber lain, Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB M Lukman Hakim, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga, dan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Atgas.
Rukka menilai, pemerintah terkesan tidak terbuka. Sejauh ini AMAN hanya satu kali diundang KLHK tahun 2018, setelah itu mereka tidak mengetahui proses yang terjadi selanjutnya.
Sandrayati Moniaga mengatakan, pihaknya melihat masalah ini berada di pihak eksekutif dan legislatif. “Di eksekutif kami tidak paham kenapa nyangkut DIM itu. Kemudian di DPR tidak semua fraksi mendukung secara komprehensif. Pembahasannya masih satu-dua fraksi,” katanya.
Komnas HAM sendiri tetap merekomendasikan adanya UU Masyarakat Adat. Hal ini dilakukan sejak akhir 2012. Pada tahun 2013, Komnas HAM ikut mendorong agar masuk Prolegnas 2015-2019 dengan alasan selain perintah UUD 1945, faktanya banyak peraturan perundangan -yang mengatur hak sebagian hak masyarakat adat- tidak lengkap dan tidak konsisten satu dengan yang lain.
Terkait perkembangan RUU Masyarakat Adat, Supratman Andi Atgas, mengatakan, DPR baru masuk tahap Tata Tertib dan Tata Cara Penyusunan Prolegnas. Setelah itu baru penyusunan Prolegnas.
“Dalam penyusunan prolegnas itu tentu dari DPD, DPR, dan pemerintah akan memasukkan usulan-usulan terkait RUU. Mungkin salah satunya RUU Masyarakat Adat. Sebagaimana dulu oleh Baleg sudah selesai diharmonisasi, bahkan Supresnya (Surat Presiden) sudah turun, tetapi tidak dilanjutkan pembahasannya karena DIM-nya tidak disertakan oleh pemerintah,” katanya.
Menurut Supratman, pihaknya akan berkomunikasi dengan Kemendagri terkait RUU ini. Karena lintas kementerian, maka butuh waktu untuk berdialog.
“Kita harus akui bahwa masyarakat adat sekarang berhadapan dengan berbagai stake holder yang tidak mudah dihadapi, termasuk oleh negara. Karena itu kita akan carikan formulasinya dan berharap bisa berlanjut di masa keanggotaan DPR yang baru,” ucapnya.
Sementara itu, M Lukman Hakim menyoroti adanya perbedaan nomenklatur di dalam RUU Masyarakat Adat yang mencakup 14 bab dan 48 pasal itu. Ada yang menyebut masyarakat adat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat tradisional.
“Ini tidak konsisten karena subtansinya berbeda. Pilihannya kemana sebenarnya? Ini menjadi nomenklatur awal yang harus ditegaskan. Kemudian ketentuan penjelasnya tidak memuat hak adat. Padahal yang dituntut teman-teman (AMAN dan Komnas HAM), kan, perlindungan terhadap hak adat. Hak adat tidak didefinisikan di ketentuan umum. Sehingga akan berimbas pada pengaturannya nanti,” katanya.