Pengidap HIV/AIDS yang Mengakses Pengobatan Masih Minim
Hingga pertengahan tahun 2019, baru 18 persen orang dengan HIV/AIDS di Indonesia yang mengakses layanan terapi pengobatan. Stigma yang melekat kepada penderita menjadi hambatan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Hingga pertengahan tahun 2019, baru 18 persen orang dengan HIV/AIDS atau ODHA di Indonesia yang mengakses layanan terapi pengobatan. Stigma yang melekat di masyarakat dianggap menjadi penghalang bagi pengidap untuk mengakses layanan.
Berdasarkan data Kementerian kesehatan yang dipaparkan pada pertemuan The Indonesian AIDS Conference (iAIDS), di Bandung, Jumat (29/11/2019), estimasi ODHA di Indonesia pada 2016 mencapai 640.443 jiwa. Namun, sejak tahun 1987 hingga Juni 2019, kasus HIV yang tercatat baru 349.882 kasus. Artinya, baru 60 persen kasus yang telah terdata.
Bahkan, pengidap yang terdata telah mengakses terapi pengobatan HIV/AIDS hingga Juni 2019 hanya berjumlah 115.750 jiwa atau 18 persen dari estimasi yang ada. Padahal, pemerintah menargetkan Indonesia bebas HIV/AIDS pada 2030.
Psikolog dan peneliti HIV/AIDS dari Universitas Atma Jaya, Irwanto, menuturkan, kondisi ini terjadi akibat stigma yang melekat di masyarakat. Ketakutan akan diskriminasi sebagai ODHA membuat mereka enggan mengakses pengobatan.
Padahal, terapi dengan menggunakan obat antiretroviral (ARV) ini mampu mengurangi potensi penggandaan virus HIV di dalam tubuh sehingga memperlambat persebarannya. Karena itu, akses obat-obatan ini menjadi kebutuhan para pengidap. Irwanto menuturkan, kerja sama intensif penting bagi pengidap agar mau menjalani pengobatan sehingga siklus penularan virus tersebut bisa dipetakan dan dihentikan.
”Stigma masih menjadi masalah besar, terutama kelompok-kelompok rentan, seperti pasangan berperilaku seks bebas dan pengguna narkotika. Pengidap tidak akan mengakses pengobatan karena takut diskriminasi. Ini menjadi tugas besar bagi pemerintah. Kalau dibiarkan, target tidak akan tercapai,” ujar Irwanto.
Tidak hanya dari masyarakat, stigma di lingkungan pemerintah juga perlu dihapuskan. Irwanto berpendapat, kolaborasi lintas sektor dibutuhkan dalam memberikan pelayanan tanpa memandang usia, terutama generasi muda.
Kolaborasi lintas sektor dibutuhkan dalam memberikan pelayanan tanpa memandang usia, terutama generasi muda.
”Kalau mau serius, pemerintah harus memberikan contoh. Unit-unitnya harus bekerja sama dalam menghilangkan stigma. Tidak ada lagi yang memelihara stigma tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam sambutan iAIDS, Penjabat Sekretaris Daerah Jawa Barat Daud Achmad menyatakan, tingginya kasus di Indonesia membutuhkan peran kuat dari pemerintah daerah. Dia menyebut, kasus-kasus HIV/AIDS sulit dideteksi karena para pengidap enggan memeriksakan diri.
”Masyarakat masih menganggap HIV/AIDS sebagai aib. Hal ini membahayakan karena perkembangan kesehatan ODHA tidak terpantau. Untuk itu, kami akan cari pola-pola seperti apa yang terbaik,” ujarnya.
Deteksi dini
Penghilangan stigma ini perlu disertai dengan menambah pengetahuan dan mengoptimalkan peran petugas kesehatan di masyarakat. Titeu Herawati dari Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat menuturkan, kontribusi bidan dalam pemeriksaan ibu hamil dibutuhkan sehingga perkembangan HIV/AIDS di masyarakat bisa terpetakan.
Titeu menjelaskan, deteksi dini yang perlu dilakukan oleh ibu hamil mencakup HIV, sipilis, dan hepatitis B yang disebut Tripel Eliminasi tersebut. ”Peran bidan perlu dioptimalkan. Sosialisasi pemeriksaan Tripel Eliminasi perlu didorong sehingga penyakit-penyakit yang disebabkan virus ini bisa dihentikan,” ujarnya.