Industri rumah tangga gula merah, bahan pangan tradisional yang sudah diproduksi sejak puluhan tahun lalu di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kini mulai meredup aktivitasnya.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Industri rumah tangga gula merah, bahan pangan tradisional yang sudah diproduksi sejak puluhan tahun lalu di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kini mulai meredup aktivitasnya. Selain ditandai dengan jumlah pohon kelapa yang berkurang karena banyak ditebang untuk kebutuhan permukiman dan pelebaran jalan, juga akibat penyusutan jumlah perajin.
Mugito (55), salah seorang warga Dusun Sendaren II, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, mengatakan, pada era 1980-an, jumlah perajin gula merah di Dusun Sendaren II, mencapai lebih dari 50 orang, tetapi saat ini, hanya tersisa lima orang.
Mugito mengakui, para perajin gula merah termasuk dirinya gagal melakukan regenerasi.
”Banyak anak muda malas menekuni kerajinan ini karena mereka enggan memanjat pohon kelapa dan menanggung risiko jatuh untuk hasil yang tidak seberapa,” ujarnya, Senin (2/12/2019).
Mugito, yang memulai usaha kerajinan gula merah sejak tahun 1986, akhirnya memilih untuk beristirahat, tidak membuat gula merah sejak dua tahun lalu. Saat ini, lima perajin gula merah yang masih tersisa juga berumur 50 tahun ke atas.
”Banyak anak muda malas menekuni kerajinan ini karena mereka enggan memanjat pohon kelapa dan menanggung risiko jatuh untuk hasil yang tidak seberapa,” ujar Mugito.
Jumlah pohon pun kini sudah jauh berkurang. Jika dahulu, hampir setiap perajin memiliki 10 pohon kelapa, sekarang tiap perajin maksimal hanya memiliki lima pohon kelapa.
Penurunan jumlah pohon kelapa dan jumlah perajin ini mulai terasa sekitar 10 tahun terakhir. Seiring dengan perkembangan zaman, profesi perajin ini tidak lagi diminati dan banyak anak muda memilih bekerja di pabrik.
Pohon kelapa pun tidak lagi dibiarkan leluasa tumbuh karena sebagian lahan tempat tumbuh tanaman tersebut digunakan untuk pelebaran jalan. Pohon kelapa juga sering kali dianggap mengganggu pembangunan jaringan listrik. Tidak hanya itu, atas inisiatif warga sendiri, pohon ini sering ditebang karena kayunya dibutuhkan untuk pembangunan rumah.
Dikunjungi wisatawan asing
Kondisi ini, menurut dia, sebenarnya sangat disayangkan karena selama lima tahun terakhir, industri kerajinan gula merah di Dusun Sendaren II, mulai banyak dikunjungi oleh wisatawan asing.
”Puluhan orang dari Polandia, Belgia, dan Tiongkok, sudah sempat datang, berkunjung dan melihat proses produksi pembuatan gula merah di sini,” ujarnya.
Turni (50), salah seorang perajin gula merah dari Dusun Sendaren II, juga mengatakan hal serupa. Banyak turis mulai berdatangan, melihat proses pembuatan dan ingin mencicipi gula merah. Namun, dia pun mengaku tidak bisa melayani maksimal karena volume produksi tidak bisa ditingkatkan.
”Saya hanya bisa memproduksi maksimal 2 kilogram (kg) gula merah per hari. Volume produksi tidak bisa digenjot lagi karena jumlah pohon kelapa sudah sangat berkurang,” ujarnya.
Semasa masih dijalankan mertuanya, usaha kerajinan gula kelapa di keluarga Turni, bisa menghasilkan 5 kg per hari.
”Saya hanya bisa memproduksi maksimal 2 kilogram (kg) gula merah per hari. Volume produksi tidak bisa digenjot lagi karena jumlah pohon kelapa sudah sangat berkurang,” ujar Turni
Hal serupa juga diungkapkan oleh Damar (43), salah seorang perajin gula merah di Dusun Brojonalan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Setiap hari, dia hanya bisa memproduksi 5-6 kg gula merah.
Padahal, di satu sisi, produk ini disukai oleh kalangan wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke rumahnya.
”Para turis itu terkadang ingin membeli hingga 10 kg gula merah. Namun, permintaan mereka biasanya hanya bisa saya layani saat ada sisa stok yang belum laku terjual,” ujarnya.
Danar sudah sering menerima kunjungan tamu asing dari berbagai negara di Eropa hingga Afrika. Karena keterbatasan volume produksi dan banyaknya kunjungan, akhirnya dia pun tidak lagi menjual gula merahnya ke pasar.
Damar mengatakan, dirinya tidak bisa lagi menggenjot volume produksi karena puluhan pohon kelapa milik orangtuanya sudah habis ditebang untuk pembangunan jembatan.
Dia pun kini terpaksa pasrah mengambil nira dari pohon kelapa milik kerabatnya, yang jumlah pohonnya saat ini juga sudah berkurang, dari sebelumnya 15 pohon, kini hanya tersisa sembilan pohon.