Perayaan Natal Nasional Gereja Kalimantan Evangelis di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (2/12/2019), dihadiri tokoh adat, pejabat daerah, dan tokoh lintas agama. Perayaan tahun ini mengambil tema "Sahabat".
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Perayaan Natal Nasional Gereja Kalimantan Evangelis di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (2/12/2019), dihadiri tokoh adat, pejabat daerah, dan tokoh lintas agama. Perayaan tahun ini mengambil tema "Sahabat".
Perayaan yang dimulai pukul 16.00 itu sudah mulai dipadati jemaat dan pengunjung dari berbagai daerah di Kalteng di Stadion Sanaman Mantikei, Kota Palangkaraya. Lebih kurang 3.000 orang hadir dalam acara ini. Sampai berita ini diturunkan, perayaan masih terus berlangsung dengan banyak pengisi acara seperti Lea Simmanjuntak, Choky Sitohang, dan berbagai penyanyi Kalteng.
Ketua Panitia Perayaan Natal Nasional 2019 Rawing Rambang mengungkapkan, perayaan itu disebut Natal nasional karena jemaat Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) berada di hampir seluruh Indonesia. Perayaan yang sama juga dilaksanakan di beberapa kota besar, seperti Balikpapan, Samarinda, Pontianak, Banjarmasin, Surabaya, hingga Jakarta.
Rawing menjelaskan, tak hanya tamu, panitia juga berasa dari berbagai latar belakang profesi dan latar belakang agama. “Ini menunjukkan toleransi dan keberagaman. Kalteng memang sebutannya Bumi Pancasila,” ujarnya.
Meskipun perayaan Natal diperingati umat Kristen. Namun, di stadion itu terlihat beberapa tamu dari Hindu Kaharingan, tokoh-tokoh agama Islam, tokoh Katolik, dan juga Ketua Dewan Adat Dayak Haji Agustian Sabran.
Dalam khotbahnya, Pendeta Wardinan S Lidin mengungkapkan, dengan menjadi sahabat bagi semua maka akan dicapai perdamaian. Perdamaian tidak akan terwujud jika masih ada kekerasan, iri dengki, dan ketidakadilan.
“Hiduplah sebagai sahabat, jika prinsip ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tak hanya sukacita tapi senantiasa damai di bumi dan di surga,” ungkap Wardinan, Ketua GKE Kalteng.
Hiduplah sebagai sahabat, jika prinsip ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tak hanya sukacita tapi senantiasa damai di bumi dan di surga.(Wardinan)
Wardinan mengungkapkan, kunci dasar menjadi sahabat adalah kasih. Kasih bagi sesama tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. “Tiap orang mampu membawa damai di rumahnya, di lingkungannya, di kantor, di pasar, di mana pun kita semua berada,” ungkap Wardinan.
Selain di Palangkaraya, perayaan natal GKE juga dilaksanakan di beberapa kabupaten di Kalteng. Seperti di Kabupaten Gunung Mas, selain ibadah mereka juga melaksanakan Parade Natal 2019.
Parade itu melibatkan semua instansi, anak-anak sekolah dengan berbagai latar belakang. Parade itu dilaksanakan pada Minggu (1/12/2019) sore. Bupati Gunung Mas Jaya S Monong mendukung semua jenis kegiatan keagamaan untuk memupuk kerukunan antar warga. Gunung Mas, lanjut Monong, memiliki berbagai latar belakang masyarakatnya. Tak hanya orang Dayak, tetapi hampir setiap suku hidup dan tinggal di kabupaten yang berjarak 156 kilometer dari Kota Palangkaraya.
Kegiatan seperti ini dilaksanakan di Palangkaraya dan 13 kabupaten/kota lainnya setiap tahun. Hal itu dilakukan karena Kalteng memang dikenal sebagai Bumi Pancasila.
Pada 11 Juni 2011, Kalteng dideklarasikan sebagai Bumi Pancasila oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang bersama Yayasan Indonesia Satu. Deklarasi dilaksanakan di Tugu Soekarno di Jalan Ahmad Yani, Kota Palangkaraya. Di tugu ini, Soekarno meletakkan batu pertama yang menandai penetapan Kalteng sebagai provinsi baru di Indonesia pada 1957.
Saat itu, muncul semboyan “Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila”. Tambun dan Bungai diambil dari nama tokoh spiritual suku Dayak yang mempertahankan wilayah Borneo ratusan tahun silam. Semangat kakak beradik itu diyakini menjadi semangat persatuan yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam buku "Tetek Danum, Kalimantan Memanggil" yang ditulis Tjilik Riwut, semboyan Bumi Tambun Bungai bertransformasi menjadi semangat masyarakat Dayak untuk bersatu dalam bingkai NKRI.
Keragaman dalam perayaan Natal Nasional GKE merupakan gambaran kecil dari hidup toleran di Kalteng. Hal itu terwujud setelah melalui proses panjang yang dimulai sejak ratusan tahun silam.
Antropolog Dayak Marko Mahin mengatakan, suku Dayak percaya pada falsafah huma betang atau rumah panjang khas Suku Dayak. Di rumah itu, satu keluarga dibebaskan memilih agamanya masing-masing.
“Ada distribusi kesejahteraan yang dibuat di dalam rumah betang termasuk memilih agamanya, namun persatuan itu kuat,” ungkap Marko.