Penuhi Kebutuhan Dasar Warga Aceh untuk Tekan Kemiskinan
Sebagian besar warga Aceh masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar karena infrastruktur dasar di perdesaan masih buruk. Padahal, pada 2008-2019 Aceh telah menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 65 triliun.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga miskin di Provinsi Aceh diyakini dapat menurunkan angka kemiskinan di provinsi itu. Saat ini sebagian besar warga masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, seperti tempat tinggal yang layak, jaminan pangan, ketersediaan air bersih, akses kesehatan, dan pendidikan.
Infrastruktur dasar di perdesaan masih buruk. Padahal, sejak 2008 hingga 2019 Aceh telah menerima dana otonomi khusus Rp 65 triliun.
Anggota Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Sekretariat Wakil Presiden, Ardi Adji, dalam rapat koordinasi percepatan penanggulangan kemiskinan di Aceh, Rabu (4/12/2019), di Banda Aceh, mengatakan, dengan membantu pemenuhan kebutuhan dasar, pengeluaran warga miskin akan berkurang. ”Turunkan beban pengeluaran dan tingkatkan pendapatan, makanya kesejahteraan warga meningkat,” kata Ardi.
Ardi menuturkan, kantong kemiskinan di Aceh berada di perdesaan yang mencapai 651.000 jiwa, sedangkan di perkotaan hanya 168.000 jiwa. Adapun jumlah penduduk Aceh sekitar 5 juta jiwa. Menurut Ardi, infrastruktur dasar di perdesaan masih buruk.
”Pada wilayah kantong kemiskinan, cakupan layanan air minum layak, telekomunikasi, dan fasilitas kesehatan relatif lebih sulit dibandingkan dengan wilayah lain,” kata Ardi.
Apa yang disampaikan Ardi dapat dijumpai di kawasan terpencil Kecamatan Simpang Jernih Aceh Timur. Empat desa di Simpang Jernih tidak memiliki fasilitas kesehatan yang baik. Akses ke desa itu hanya bisa dilalui melalui jalur sungai. Tidak memiliki jaringan listrik dan air minum. Fasilitas pendidikan terbatas, angka buta huruf tinggi, dan tidak terjangkau jaringan komunikasi.
Kondisi serupa ditemui di Desa Sikundo, Kecamatan Pante Ceuremen, Aceh Barat. Desa terpencil itu tidak memiliki fasilitas kesehatan, jaringan telekomunikasi nihil, jalan rusak berat, fasilitas pendidikan kurang, dan banyak anak putus sekolah.
Adapun kantong kemiskinan di Aceh berada di 10 kabupaten/kota, yakni Aceh Utara, Pidie, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Barat, Aceh Tamiang, dan Bener Meriah.
Sebanyak 37,1 persen atau 210.275 jiwa anak di Aceh mengalami tengkes.
Ardi menambahkan, pada kantong kemiskinan di Aceh masih ada 264 titik lokasi kumuh dan 12.681 keluarga yang tinggal di lokasi kumuh. Lokasi kumuh akan memicu kualitas kesehatan rendah. Akibatnya, banyak anak balita di Aceh yang mengalami tengkes atau stunting. Ardi menyebutkan data 2018, sekitar 37,1 persen atau 210.275 jiwa anak di Aceh mengalami tengkes dan sebagian besar berada di wilayah kantong kemiskinan.
Kondisi itu kian diperparah oleh adanya 15,26 persen keluarga miskin yang tidak memiliki rumah layak dan 19,32 persen tidak memiliki toilet. Sebanyak 27 persen warga miskin tidak memiliki sumber air minum dan 5 persen rumah berlantai tanah.
Selain itu masih banyak warga lanjut usia miskin tidak memperoleh intervensi khusus dari pemerintah. Menurut Ardi, Program Keluarga Harapan dari pemda untuk warga lansia perlu ditingkatkan.
”Pembangunan pada kantong-kantong kemiskinan harus diprioritaskan. Fasilitas publik harus dibangun yang representatif,” kata Ardi. Ardi mengatakan, pemprov, pemkab/pemkot, perguruan tinggi, dan swasta harus bahu-membahu menanggulangi kemiskinan di Aceh.
Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, penurunan kemiskinan menjadi fokus kerja pemerintah. Pemerintah menyusun 15 program unggulan dengan hasil akhir menurunkan angka kemiskinan 1 persen per tahun.
Sejak 2008 hingga 2019 Aceh telah menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 65 triliun. (Nova Iriansyah)
Program tersebut di antaranya pembangunan rumah duafa, beasiswa pendidikan, perbaikan infrastruktur, peningkatan ekonomi, dan pemerataan energi. ”Dalam dua tahun terakhir angka kemiskinan menurun. Namun, penurunan itu masih relatif kecil, belum mencapai 1 persen per tahun,” kata Nova.
Dana otonomi khusus, lanjut Nova, telah diprioritaskan untuk program-program peningkatan kesejahteraan warga. Sejak 2008 hingga 2019 Aceh telah menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 65 triliun.
Nova menambahkan, selain mengandalkan dana otonomi khusus, pemerintah juga mendorong realisasi investasi melalui kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, dan memaksimalkan pengelolaan potensi daerah. ”Sementara untuk jangka panjang, kita tetap harus memperkuat program pemberdayaan ekonomi masyarakat dan peningkatan kualitas SDM,” ujar Nova.
Anggota DPR asal Aceh, Illiza Saaduddin Djamal, mengatakan, pengelolaan potensi daerah belum maksimal sehingga tidak memberikan nilai tambah bagi warga. ”Melihat potensi alam, tidak mungkin kita miskin. Tinggal bagaimana mengelola,” kata Illiza.
Hal itu, kata Illiza, menunjukkan masih banyak masalah dalam pengelolaan potensi daerah dan penyusunan program oleh pemerintah daerah. Illiza menuturkan, laju angka ekonomi di Aceh tumbuh, tetapi warga miskin tetap banyak lantaran program pemerintah lebih banyak dirasakan oleh warga mapan. Illiza mendorong pemerintah agar memperbaiki database penerima manfaat dari setiap program agar bantuan merata.