Teater Gandrik akan mementaskan ”Para Pensiunan 2049” di Ciputra Hall, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/12) dan Sabtu (7/12/2019). Pementasan akan kembali bercerita setidaknya tentang bahaya laten korupsi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Teater Gandrik akan mementaskan Para Pensiunan 2049 di Ciputra Hall, Surabaya, Jawa Timur, besok dan lusa atau Jumat (6/12/2019) dan Sabtu (7/12/2019).
Pementasan akan kembali bercerita setidaknya tentang bahaya laten korupsi. Namun, dalam suatu sudut pandang, koruptor mungkin masih ada manfaatnya ketika sudah menjadi bangkai alias mati.
Surabaya merupakan lokasi ketiga untuk pementasan saduran karya alm Heru Kesawa Murti berjudul Pensiunan (1986) itu yang ditulis ulang oleh Agus Noor dan Susilo Nugroho alias Den Baguse Ngarso. Karya ini sebelumnya pentas di Yogyakarta pada 8-9 April dan Jakarta, 25-26 April.
(Maaf, Red), Asu banget, kata Butet.
Dalam jumpa pers di Surabaya, Kamis (5/12/2019), Butet Kartaredjasa dan Susilo Nugroho mengatakan, pentas ini merupakan keinginan Teater Gandrik Sambang Suroboyo. Menurut mereka, kelahiran kelompok ini tak bisa dilepaskan dari jasa teater ”Kota Pahlawan”.
Butet mengisahkan, pada 1978 menonton pementasan Bengkel Muda Surabaya di Yogyakarta dan terpesona. Kelompok yang berdiri pada 1972 itu dianggap Butet sebagai salah satu pelopor teater modern yang mampu berangkat dari akar tradisi (ludruk). Secara khusus, penampilan Basuki Rahmat (wartawan dan dramawan) ketika itu memukau Butet karena sosok tersebut mampu memainkan berbagai karakter.
”(Maaf, Red), Asu banget,” kata Butet. Kelahiran Gandrik pada 1983 yang salah satunya dimotori oleh Susilo juga berusaha menjadi kelompok teater modern, tetapi tidak meninggalkan akar tradisi budaya di Yogyakarta. Jadi, terlihat ada pengaruh semangat Surabaya. Untuk itu, pementasan di Surabaya bagi Gandrik seakan menjumpai kembali jejak sejarah yang mengantar perjalanan kelompok ini.
Naskah
Menurut Susilo, naskah Para Pensiunan sebelum dipentaskan di Yogyakarta dan Jakarta sudah kena bongkar pasang. Den Baguse Ngarso ini bilang, mereka adalah sekumpulan orang goblok yang keminter atau sok pintar berusaha menginterpretasi perjalanan negeri dalam pemberantasan korupsi.
Lanjut Susilo, naskah awalnya ditulis ulang oleh Agus Noor. Setelah selesai, dibaca kembali dan kumatlah keminteran para gerombolan goblok itu. ”Ini jelek jadi ditulis lagi. Selesai, dibaca lagi, ternyata masih jelek. Dipasrahkan ke saya, selesai, dibaca ternyata masih jelek. Bongkar terus, lha inilah para orang goblok yang merasa sok pintar, ha-ha-ha,” katanya dengan enteng.
Sampai mendekati pementasan, ”Butet kepatil jantunge. Sempat kepikiran bagaimana kalau tidak tampil? Tetapi, kalau seniman itu, dilarang pentas mungkin malah mati, ha-ha-ha,” ujar Den Baguse Ngarso.
Intinya, karya itu kemudian bisa dipentaskan di Yogyakarta dan Jakarta dengan sutradara Djaduk Ferianto yang adalah adik Butet. Pementasan di dua kota itu dianggap cukup sukses dan mendorong kalangan budayawan Surabaya untuk menggandeng Gandrik agar mau pentas di ”Kota Pahlawan”.
Gayung bersambut, tetapi menjelang pementasan, seperti sudah diberitakan, Djaduk meninggal. Namun, Butet dan Gandrik berkomitmen untuk tetap mementaskan karya ini sekaligus mengenang dan mendedikasikannya bagi Djaduk.
Koruptor
Tetap bergaya ”guyon parikena” atau sindiran halus, Gandrik akan mementaskan Para Pensiunan 2049 dengan durasi lebih kurang 2,5 jam. Dalam pementasan, durasi amat elastis bergantung pada situasi. Jika penonton di Surabaya mampu memberikan ”rezeki” atau respons ke panggung, ”Pemain bisa dlewer (mengalir dialognya), susah direm, ha-ha-ha,” kata Susilo.
Dikisahkan, 2049 atau tiga dasawarsa mendatang, di sebuah negeri ada Undang-Undang Pemberantasan Pelaku Korupsi (Pelakor). Rakyat yang meninggal wajib memiliki surat keterangan kematian yang baik (SKKB). Aturan ini memang dibuat untuk pemberantasan korupsi. Tanpa warkat itu, yang mati tak boleh dikubur. Artinya, yang tak korupsilah yang bisa mendapat SKKB.
Adanya aturan itu membuat para pensiunan gelisah. Mereka ingin hidup tenang ketika di alam baka. Segala cara akan dilakukan demi mendapat SKKB.
Pemain bisa dlewer (mengalir dialognya), susah direm, ha-ha-ha. (Susilo)
Dalam persepsi Gandrik, koruptor memang harus dihukum berat. Utangnya kepada negara dan masyarakat. Hukuman selesai dijalani, utang terhadap negara bisa disebut lunas. Namun, bagaimana dengan utang kepada masyarakat? Di sinilah kemudian, koruptor kalau sudah mati, bagaimanapun jasadnya harus bisa dimanfaatkan. ”Bisa dicincang untuk pakan ternak atau pupuk itu untuk melunasi utang ke masyarakat dengan pandangan jenazahnya bermanfaat,” kata Susilo.
Dengan begitu, nanti arwah koruptor diharapkan tenang di alam baka. Bisa juga dipandang, masyarakat boleh jadi diuntungkan adanya koruptor. ”Lha, nanti jenazahnya, kan, bisa dibuat pakan ternak dan pupuk, he-he-he,” ujar Susilo, disambut tawa jurnalis.
Prasarana
Mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos dan mantan Wakil Wali Kota Surabaya Arief Affandi yang kini mengelola situs berita ngopibareng.id mengatakan, pementasan Teater Gandrik diharapkan merangsang kegiatan perdramaan atau seni di Surabaya. Meski Jatim, khususnya Surabaya, masih menjadi barometer ludruk, perkembangannya tak seindah masa lalu. Begitu pula dalam musik ketika saat ini belum lagi muncul grup-grup yang menggegerkan Nusantara dari Surabaya.
Pementasan diadakan di Ciputra Hall di Surabaya Barat karena gedung di pusat kota dianggap belum representatif. Gedung Cak Durasim di Taman Budaya Jawa Timur dan eks-Mitra 21 di lantai dua kompleks Balai Pemuda kurang bagus dalam tata akustiknya. Pementasan teater memerlukan gedung yang tata akustiknya prima. Tidak boleh, misalnya, terdengar suara dari luar gedung.
”Ini dorongan juga bagi Pemerintah Kota Surabaya untuk Balai Pemuda dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk Gedung Cak Durasim,” kata Arief. Pementasan seni tradisi di kedua gedung itu memang cukup baik dan rutin. Namun, akan lebih bagus jika prasarananya prima.