Selamatkan Sungai di Kalimantan Barat
Daerah aliran sungai (DAS) di Kalimantan Barat banyak yang kritis. Data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari 14 juta hektar luas DAS di Kalbar, 1,01 juta hektar sudah kritis dan didominasi DAS Kapuas.
PONTIANAK, KOMPAS — Daerah aliran sungai atau DAS di Kalimantan Barat banyak yang kritis. Berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta hektar luas DAS di Kalbar, 1,01 juta hektar sudah kritis dan didominasi DAS Kapuas.
Namun, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, DAS Kapuas dan sub-DAS Kapuas saja luasnya sekitar 10 juta hektar. Dari luasan itu, DAS Kapuas dan sub-DAS Kapuas yang kritis mencapai 70 persen.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Ale, Jumat (6/12/2019), mengungkapkan, Kalbar memiliki banyak DAS. Dari 14 kabupaten/kota di Kalbar, semuanya memiliki DAS. Hampir semua DAS mengalami degradasi.
”Kondisi sungai sudah berubah. Debit air sudah berubah. Hal itu terjadi karena DAS rusak, dampak dari aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan emas ilegal dan perkebunan. Aktivitas itu berada di bantaran sungai,” tutur Nikodemus.
Bahkan, kawasan penyangga yang menjadi sumber air juga digarap. Aktivitas itu marak sekali di sekitar sungai. Pemberian izin tidak memperhatikan aspek keberlangsungan sungai. Pembukaan perkebunan sampai di bantaran sungai.
Kondisi sungai sudah berubah. Debit air sudah berubah. Hal itu terjadi karena DAS rusak dampak dari aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan emas ilegal dan perkebunan.
”Kapuas sebagai DAS utama menerima beban degradasi lingkungan dari semua sub-DAS. Sebab, praktik pertambangan ilegal juga terjadi di sub-sub-DAS. Semua mengalir ke Kapuas,” ujarnya.
Baca juga : Ekspedisi Riset untuk Susuri Sungai Kapuas
Penggunaan zat kimia dari aktivitas pertambangan ilegal di sub-DAS semuanya tumpah ke Kapuas. Hal ini memengaruhi keselamatan masyarakat yang dilintasi Kapuas. Padahal, masyarakat masih mengakses air sungai sebagai sumber air aktivitas sehari-hari.
untuk penyelamatan DAS, diperlukan kerja sama semua pihak. Yang bertanggung jawab tidak hanya forum DAS. Penyelamatan sungai juga memerlukan kebijakan dari dinas perkebunan. Kemudian, dinas pertambangan dan energi dalam pengawasan dan penertiban aktivitas pertambangan.
Yang lainnya, dinas kehutanan tentang cara memaksimalkan pengamanan hutan di kawasan penyangga. Pihak yang bertanggung jawab untuk mengembalikan kondisi sungai dari semua elemen.
Walhi juga telah berupaya meminimalkan degradasi lingkungan di sekitar DAS Kapuas. Walhi melakukan pengawasan, penyadaran masyarakat, pemantauan, dan advokasi kasus jika ada kasus yang dapat merusak sub-DAS.
Walhi puluhan tahun lalu telah mengingatkan bahwa Kapuas dan sungai-sungai lainnya terdegradasi. Namun, 10 tahun terakhir peringatan itu tidak pernah digubris pemangku kebijakan. Padahal, Kapuas adalah ikon Kalbar. Sungai mendesak untuk dipulihkan.
Dalam beberapa kesempatan saat Kompas menyusuri beberapa lokasi di Kapuas, bantaran Kapuas banyak yang longsor akibat pertambangan emas ilegal. Bantaran sungai ada yang hilang 10-20 meter ke arah daratan. Kondisi seperti itu ditemukan di sejumlah lokasi yang terpencar.
Banyak pohon di bantaran Kapuas tumbang ke sungai. Pohon-pohon itu menjadi tempat untuk mengikatkan tali rakit yang berisi alat menambang emas sehingga lama-kelamaan tumbang. Ada pula kayu yang tumbang akibat bantaran sungai yang longsor.
Baca juga : Kapuas, Eksotika yang Merana
Selain aktivitas pertambangan emas ilegal, ada pula perkebunan sawit di bantaran Kapuas. Jarak tanam hanya beberapa meter dari sungai. Harusnya jarak minimal 50-100 meter dari sungai.
Hal itu berpotensi mengotori sungai karena pupuknya bisa menyebar. Wajah Kapuas yang seperti itu baru ditemui di salah satu lokasi dari 1.143 kilometer total panjang Kapuas. Diduga kondisi seperti itu ada di banyak lokasi.
Bentang alam
Guru Besar Fakultas Pertanian Magister Ilmu Lingkungan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Gusti Anshari, menuturkan, Kapuas kaya keanekaragaman hayati dan terdapat bahan-bahan tambang, misalnya emas.
Bicara sungai tidak lepas dari bentang alam. Kondisi hutan dan gambut di sekitarnya turut memengaruhi. Kawasan hutan di sekitarnya sudah rusak sehingga mengganggu sistem hidrologi, termasuk gambut di hulu dan di sekitarnya. Gambut di Kapuas Hulu bahkan bisa dikatakan tertua. Kondisi gambut juga rusak sehingga memengaruhi sungai.
”Jadi, melihat sungai harus dilihat bentang alam di sekitarnya juga. Jika gambut dan hutannya rusak, maka tidak bisa menyimpan air. Dengan kondisi bentang alam yang rusak, air semuanya masuk ke sungai,” paparnya.
Selain itu, saat musim kemarau debit air cepat berkurang. Kalau musim hujan, air sungai cepat naik. Hal itu karena kondisi bentang alamnya tidak mendukung lagi. Apalagi, dahulu pernah ada penebangan kayu liar serta konversi lahan.
”Maka, perencanaan tata ruang DAS penting, mana kawasan yang dibuka dan yang harus dikonservasi. Perizinan yang tidak sesuai peruntukan lahan hendaknya dihentikan. Sungai penting diselamatkan karena banyak masyarakat yang bergantung pada sungai, khususnya dalam usaha perikanan,” tuturnya.
Perlu ada pembagian tugas bersama untuk menyelamatkan sungai, misalnya penyuluhan kepada masyarakat. Penegakan hukum juga diperlukan, kawasan lindung dijaga. Meski demikian, tidak mudah untuk mengatasinya karena masalahnya kompleks.
Ada contoh kearifan lokal yang bisa direplikasi untuk menjaga lingkungan, misalnya penerapan hukum adat untuk menjaga kelestarian danau. Hal itu bisa diterapkan pula untuk menjaga sungai.
Upaya rehabilitasi
Kepala Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas Evi Budiaryanti mengatakan, DAS Kapuas memang sudah kritis. Di wilayah hilir saja sering terjadi banjir. Hal itu merupakan sinyal adanya kondisi kritis di hulu. Airnya juga keruh.
”Kami telah melakukan upaya rehabilitasi. Namun, laju degradasi lebih cepat daripada upaya rehabilitasi. Rehabilitasi memerlukan waktu yang lama karena proses pohon tumbuh memerlukan waktu,” ujar Evi.
Baca juga : Kapuas Perlu Segera Dipulihkan
Pada 2017, upaya rehabilitasi sudah dilakukan di DAS Kapuas seluas 800 hektar. Pada 2018 juga dilakukan rehabilitasi seluas 300 hektar. Kemudian, dilanjutkan pada 2019 seluas 11.000 hektar. Rehabilitasi dilakukan dengan penanaman pohon yang bernilai ekonomi, misalnya jengkol dan petai. Ada juga pohon tengkawang. Upaya rehabilitasi dilakukan berkelanjutan.
Kami telah melakukan upaya rehabilitasi. Namun, laju degradasi lebih cepat daripada upaya rehabilitasi. Rehabilitasi memerlukan waktu yang lama karena proses pohon tumbuh memerlukan waktu.
Rehabilitasi itu dilakukan di kabupaten-kabupaten yang dilintasi Kapuas, melibatkan berbagai pihak, tak hanya dari pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat. Karena itu, tanaman yang ditanam juga yang bernilai ekonomi bagi masyarakat.