Cegah Konflik, Warga Diimbau Keluar dari Hutan Lindung
Setelah jatuh korban petani diserang harimau, otoritas kehutanan Sumatera Selatan meminta penghentian aktivitas di dalam hutan lindung habitat harimau sumatera.
Oleh
·2 menit baca
PAGAR ALAM, KOMPAS — Setelah jatuh korban petani diserang harimau, otoritas kehutanan Sumatera Selatan meminta penghentian aktivitas di dalam hutan lindung habitat harimau sumatera. Tak ada cara lain menghindari konflik manusia dengan satwa liar.
Warga diminta keluar dari hutan lindung, tidak lagi berkebun di Desa Tebat Benawa, Dempo Selatan, Kota Pagar Alam. ”Ini demi meminimalkan konflik,” kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel Pandji Tjahjanto di Palembang, Jumat (6/12/2019).
Kamis lalu, petani kopi Yudiansyah (40) tewas diterkam harimau saat berkebun. Lokasinya sekitar 200 meter dari kejadian serupa yang melukai Marta, juga petani.
Konflik ini, kata Pandji, juga disebabkan tergerusnya habitat satwa karena alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan energi.
Satu bulan terakhir, konflik satwa dan manusia empat kali terjadi. Dua orang tewas dan dua lain terluka karena memasuki hutan untuk membuka perkebunan baru.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Lahat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel Martialis Puspito menuturkan, konflik rawan terjadi di kawasan area penggunaan lain (APL) yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. ”Itu memang kawasan jelajah harimau,” katanya.
Pandji mengatakan, lokasi konflik mematikan itu berada di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kikim Pasemah dan KPH Dempo. Ia mengakui kesulitan mengawasi keseluruhan aktivitas warga di dalam kawasan hutan. ”Jumlah petugas polisi hutan sangat terbatas,” katanya.
Di KPH Kikim Pasemah seluas 113.889 hektar hanya ada lima polisi hutan, sedangkan KPH Dempo seluas 26.064 ha hanya dijaga dua polisi hutan. Rasio yang jelas tak seimbang.
Manusia mengalah
Menurut Martialis, konflik satwa dan manusia itu disebabkan aktivitas di dalam habitat harimau. Dari tiga kasus di Tanjung Sakti Pumi dan Tebat Benawa, korban diduga membuka lahan perkebunan kopi di dalam habitat harimau.
”Kami tidak mungkin memindahkan harimau karena memang tempat tinggalnya. Seharusnya, manusia yang keluar dari habitat harimau,” katanya.
Untuk mencegah konflik, Dinas Kehutanan Sumsel bersama LSM yang menangani harimau dan BKSDA Sumsel mencari formula tepat agar tidak ada lagi aktivitas yang mengganggu habitat satwa. ”Perlu peran semua pihak, karena mereka yang ahli di bidang penanganan harimau,” kata Pandji.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel Hairul Sobri menuturkan, peningkatan konflik di dalam kawasan hutan tak lepas dari degradasi habitat satwa akibat alih fungsi lahan hutan. ”Seperti di Lahat, ekspansi tambang batubara sangat masif dua tahun terakhir,” katanya.
Ekspansi masif membuat ekosistem tak seimbang. Selain mengganggu sumber air, hewan mangsa juga berkurang. (RAM)